Startup Unicorn Lokal Masih Didominasi Investor Asing

Seperti diketahui, sejak 2015, sudah ada empat startup unicorn yang kini telah mengantongi predikat unicorn di Indonesia, mulai dari GoJek, Tokopedia, Traveloka dan Bukalapak.

oleh Jeko I. R. diperbarui 16 Okt 2018, 18:00 WIB
Diterbitkan 16 Okt 2018, 18:00 WIB
Startup
Ilustrasi Startup (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia perlahan sudah mulai menuju ekosistem digital terbesar di Asia Tenggara, seiring dengan pertumbuhan bisnis e-Commerce yang sudah mencapai rata-rata 17 persen selama lima tahun terakhir.

Walau jaringan broadband masih belum merata, jumlah pengguna internet di Indonesia justru kian meningkat.

Menurut survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), terdapat 143,26 juta orang Indonesia menggunakan internet pada akhir 2017.

Jumlah tersebut diprediksi kuat akan terus mengalami peningkatan, bersamaan dengan penetrasi jaringan internet cepat 4G yang menjangkau banyak masyarakat di berbagai daerah dan kota-kota Indonesia.

Besarnya jumlah pengguna internet adalah pasar yang sangat menggiurkan bagi perusahaan rintisan (startup). 

Alhasil, bisnis startup berbasis teknologi kini semakin berkembang pesat. Bahkan, beberapa di antaranya sudah dikategorikan ke dalam jajaran 'unicorn', yakni startup  dengan valuasi di atas US$ 1 miliar atau lebih dari Rp 13 triliun.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, dalam perhelatan Internasional Next Indonesia Unicorn (NextIcorn) yang dihelat di Bali, pada Sabtu (13/10/2018) mengatakan akan membuka 'keran' investasi untuk para startup Indonesia.

“Tujuannya mempersingkat proses berinvestasi dengan menyediakan investor yang serius dari seluruh dunia dengan start-up Indonesia agar mudah menjadi unicorn," jelas Rudiantara keterangan resmi Kemkominfo, Selasa (16/10/2018).

Seperti diketahui, sejak 2015, sudah ada empat startup unicorn yang kini telah mengantongi predikat unicorn di Indonesia, mulai dari Go-Jek, Tokopedia, Traveloka dan Bukalapak.

Dari keempat unicorn tersebut, tak dapat dipungkiri kalau Go-Jek layak disebut sebagai unicorn yang paling bersinar terang.

Didirikan oleh Nadiem Makarim pada 2010, GoJek merupakan perusahaan teknologi yang paling banyak diminati oleh investor asing.

Kiprah Go-Jek

Unjuk rasa ratusan driver Gojek di kantor PT Gojek Indonesia, Kemang, Jakarta Selatan, mulai memanas.
Unjuk rasa ratusan driver Gojek di kantor PT Gojek Indonesia, Kemang, Jakarta Selatan, mulai memanas. (Liputan6.com/Richo Pramono)

Derasnya kucuran dana asing mendorong kinerja Go-Jek dengan cepat melejit. Menurut catatan lembaga kajian ekonomi digital, Sharing Vision, hanya dalam tempo kurang dari 10 tahun, Go-Jek telah berkembang sangat cepat.

Tercatat, Go-Jek sudah memiliki 2.900 karyawan di 3 negara, 65 juta pengguna, 1,2 juta mitra driver, 300 ribu merchant, serta tersebar ke 75 kota dari Aceh ke Papua. 

Kini Go-Jek tak hanya menawarkan layanan jasa transportasi sepeda motor, taksi dan mobil.

Perusahaan yang digawangi Nadiem Makarim ini juga melayani pembelian makanan, belanja di toko, pulsa, tiket hingga jasa bersih-bersih rumah.

Go-Jek pun melengkapi bisnisnya dengan pembayaran digital bertajuk GoPay. Bisnis pembayaran mobile inilah yang disebut-sebut oleh Reuters menarik minat para investor.

Dua perusahaan investasi papan atas asal AS, Sequoia Capital dan Warburg Pincus LLC, menjadi pemilik GoJek sejak 2015. Investor lain adalah Northstar Group, DST Global, NSI Ventures, Rakuten Ventures, Formation Group, KKR, Farallon Capital, dan Capital Group Private Markets.

Sokongan para investor asing pada unicorn pertama Indonesia itu, diperkuat dengan kehadiran Google yang menggelontorkan dana Rp 16 Triliun pada akhir 2017.

Menyusul kemudian, konglomerat lokal Astra International dengan dana investasi Rp2 triliun.

Selain investor asal AS, sinar terang GoJek juga menarik minat pemodal Tiongkok. Tiga perusahaan raksasa Tiongkok, yakni Tencent, JD.com dan Meituan Dianping juga telah menjadi pemilik Go-Jek.

Tencent, misalnya rela menggelontorkan dana sebesar US$ 1,2 miliar untuk memodali bisnis Go-Jek yang masih terbilang bakar uang.

99 Persen Saham Go-Jek Dikuasai Investor Asing

Startup
Ilustrasi Startup (iStockPhoto)

Menurut Reuters, walau JD.com dan Meituan Dianping tak pernah mempublikasikan dana investasi yang dikucurkan, saat ini aliansi tiga investor Tiongkok itu memiliki lebih dari 80 persen bagian saham Go-Jek.

Dengan banyaknya investor asing yang terlibat dalam bisnis Go-Jek, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setyadi juga sempat mengungkapkan bahwa sekitar 99 persen saham Go-Jek kinis sudah dikuasai asing.

Kehadiran para investor asing di tubuh GoJek tak lepas dari potensi pasar Indonesia. Ambil contoh, pasar e-commerce yang  diperkirakan mencapai sekitar US$ 130 miliar pada 2020.

Nilai pasar e-Commerce Indonesia akan menjadi yang terbesar nomor tiga di Asia, setelah Tiongkok dan India.

Besarnya kepemilikan asing di GoJek, memperlihatkan bahwa bisnis unicorn Indonesia kini telah menjadi 'magnet' bagi investor asing, termasuk korporasi besar dari Tiongkok.

Namun hal itu juga memberikan dilema. Pasalnya, dalam jangka panjang ekonomi Indonesia akan dikuasai asing.

Direktur Institute for Development of Economics & Finance (Indef), Enny Sri Hartati, menilai bahwa pemerintah terlambat dalam menyusun peta jalan bisnis digital.

Guna menghindari polemik yang bakal muncul, Enny mendesak pemerintah untuk segera membuat aturan menyangkut investasi di startup digital.

Dia menilai, pemerintah sejauh ini kurang antisipasi terhadap perubahan lingkungan bisnis yang bergerak ke arah digital.

“Regulasi tidak ada. Yang sekarang hanya bersifat parsial. Contoh ride sharing hanya diatur PP Menhub. Itu pun hingga hari ini belum jelas. Padahal bisnis startup digital seperti Gojek sudah berkembang luas menjadi 10 bidang,” jelas Enny dalam diskusi “Peran Unicorn Dalam Mempertahankan Momentum Investasi dan Menjaga Stabilitas Rupiah”.

“Perlu peta jalan dan blueprint yang jelas. Polemik dapat diakhiri jika regulator memiliki aturan. Ekonomi digital adalah keniscayaan. Tinggal aturan yang jelas untuk meminimalkan ekses. Kita harus maksimalkan manfaatnya,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Enny mengatakan bahwa semua negara yang mengimplementasikan ekonomi digital, regulasinya sudah direncanakan, terstruktur sistematis bagaimana memanfaatkan teknologi.

Tetapi, berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Para pemain di bidang ini sudah bergerak sangat jauh, meski regulasi masih sekedar wacana.

(Jek/Ysl)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

 

 

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya