Fenomena Unik di Bukit Menoreh Disebut Langit Glowing, Ini Penjelasan Ahli

Peneliti Klimatologi pada Pusat Riset Sains dan Teknologi Atmosfer BRIN, Dr. Erma Yulihastin, menjelaskan tentang peristiwa langit bercahaya yang diamati di Bukit Menoreh.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 05 Okt 2021, 18:43 WIB
Diterbitkan 05 Okt 2021, 18:43 WIB
pemandangan bukit Menoreh dari Geblek Pari Kulon Progo
pemandangan bukit Menoreh dari Geblek Pari Kulon Progo

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena api di bukit Menoreh yang terjadi pada Kamis malam, 30 September 2021, sempat menarik perhatian publik. Ketika itu, Menoreh mengeluarkan 'api' dengan warna kehijauan dan disebut mirip dengan aurora.

Terkait fenomena ini, peneliti Klimatologi pada Pusat Riset Sains dan Teknologi Atmosfer BRIN, Dr. Erma Yulihastin, mengatakan peristiwa itu sebagai langit glowing.

"Langit glowing dicirikan oleh warna kehijauan pada langit di malam hari yang terjadi karena keberadaan gelombang gravitasi atmosfer(atmospheric gravity wave) atau dikenal sebagai GGA," tutur Erma dalam siaran pers yang diterima, Senin (5/10/2021).

Adapun GGA merupakan gelombang gravitas yang terdapat di atmosfer dengan skala planet, yang dapat terbentuk karena suatu gangguan di atmosfer pada suatu lokasi tertentu. Kondisi ini mengganggu lapisan atmosfer dari permukaan hingga lapisan paling tinggi di atmosfer, seperti lapisan mesosfer.

"Gangguan di atmosfer permukan atau yang terjadi di lapisan troposfer yang diketahui dapat membangkitkan GGA adalah aktivitas konvektif yang menghasilkan awan konveksi yang tinggi (deep convection)," ujar Erma melanjutkan.

 

Lebih lanjut Erma menjelaskan, salah satu laporan langit glowing sempat terjadi di Argentina. Saat ini, peristiwa GGA yang tampak kehijauan terjadi karena aktivitas badai skala meso yang terjadi sekitar 100 km dari tempat pengamatan fenomena tersebut.

Sementara peristiwa langit glowing yang terjadi di Menoreh, Erma mengatakan, berdasarkan pengamatan dari data Satellite-Based Disaster Early Warning System (SADEWA)-BRIN menunjukkan badai skala meso yang kuat dan meluas terbentuk di atas lautan berjarak sekitar 200 km dari lokasi, di Selat Karimata sebelah barat Kalimantan.

Menurutnya, badai skala meso tersebut bergerak sepanjang hari seperti pendulum. Awalnya, badai itu terbentuk di Sumatera pagi hari, lalu menuju timur ke arah Kalimantan melintasi laut Tiongkok Selatan hingga sore hari.

Lalu pada malam hari, badai ini bergerak kembali dari Kalimantan menuju laut dan menetap di sana hingga tengah malam. Aktivitas badai seperti pendulum ini yang kemungkinan menjadi pengganggu bagi lapisan atmosfer, sehingga terbentuk GGA sangat kuat dan penampakannya dapat dilihat di satu lokasi di Jawa Tengah.

"Pengamatan citra terhadap langit glowing ini seharusnya dapat dikumpulkan dari berbagai arah atau sudut sehingga membentuk citra langit glowing GGA yang lengkap, sebagaimana yang dilaporkan oleh Smith dkk. (2020) di Argentina," ujarnya menutup pernyataan.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Ini Dua Syarat Pembangunan Bandara Antariksa di Indonesia

Kepala BRIN
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko. (Foto: Dok. BRIN).

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko menyebutkan ada dua syarat pembangunan bandara antariksa di Indonesia.

Menurutnya, kedua syarat yang dimaksud adalah kesiapan lahan dan investor. Pria yang karib disapa Handoko ini mengatakan, jika kedua syarat tersebut terpenuhi, BRIN akan memulai pembangunan roket pengorbit satelit.

Pasalnya, pembangunan bandara antariksa bersifat besar dan membutuhkan investasi modal serta melibatkan konsorsium penanaman modal yang besar.

“Kami akan bermitra dengan konsorsium swasta. Bandara ini nantinya bukan sekedar fasilitas negara untuk riset tetapi juga untuk bisnis peluncuran satelit,” kata Handoko, dikutip dari keterangan resmi Badan Riset dan Inovasi Nasional.

Handoko mengakui, sudah ada beberapa konsorsium yang menyatakan minat untuk membiayai pembangunan bandara antariksa ini.

Namun karena sifatnya yang confidential atau rahasia, hal itu tidak dapat disebutkannya. Terlebih menurutnya, bisnis ini multinasional sehingga membutuhkan kerjasama internasional.

Lebih lanjut, Handoko mengatakan, posisi geografis Indonesia lebih menguntungkan untuk meluncurkan satelit.

Posisi Indonesia Menguntungkan untuk Peluncuran Satelit

“Ada potensi penghematan bahan bakar karena gravitasi di Indonesia lebih mendukung dan lebih menguntungkan daripada India. Indonesia berharap memiliki kemandirian dalam meluncurkan satelit untuk komunikasi, surveilans, mitigasi perubahan iklim, mitigasi bencana, dan sebagainya,” ujarnya.

Mengenai Space X yang dikabarkan pernah berkomunikasi dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Kepala Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN (yang sebelumnya adalah LAPAN) Erna Sri Adiningsih menegaskan bahwa komunikasi yang pernah berlangsung dengan Space X bukan dalam konteks pembangunan antariksa.

“Space X saat itu membantu memetakan lokasi penerbangan penumpang komersial antarbenua dengan menggunakan roket agar lebih hemat energi dan waktu dibandingkan jika menggunakan pesawat,” ujarnya.

Menurut Erna, sebelumnya LAPAN sudah melakukan studi feasibilitas pada lahan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan di Biak.

(Dam/Isk)

Infografis Fenomena Super Snow Moon

Infografis Fenomena Super Snow Moon
Infografis Fenomena Super Snow Moon (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya