Liputan6.com, Solo - Taman Balekambang menjadi tempat paling dituju kicau mania, sebutan para penghobi, menguji ocehan burung peliharaan di Solo, Jawa Tengah.
Meski hanya bertajuk latihan, predikat juara dan hadiah tetap jadi incaran. Tak terkecuali Balung Manuk, satu di antara puluhan kelompok penghobi burung berkicau di Kota Batik.
Baca Juga
Menegangkan urat leher jadi ciri khas pecinta burung di Solo. Tak lagi jadi monopoli para lelaki dewasa, kaum hawa pun kini tak lagi sungkan eksis di ajang obral kicauan burung.
Advertisement
Lilly Indah, 2 tahun bergabung dengan kelompok penghobi burung Green Leaf, menikmati detik demi detik beradu urat nada dengan love bird jagoannya.
Membawa istri ke lokasi ajang lomba burung belakangan jadi pemandangan lumrah. Ini berlaku bagi Bayu Tato, anggota kelompok Balung Manuk.
Baca Juga
Tak sekadar peliharaan, buat Bayu, burung adalah sumber penghidupan. Tak segan, beralih dari montir motor kini ia menggantungkan seluruh sumber penghasilan kepada burung ocehan.
Selain milik pribadi, burung milik sesama anggota komunitas jadi lahan pengisi pundi-pundi. Bersama istri dan kedua adiknya, Bayu menjaga ketersediaan pakan dan air minum jadi menu wajib kesehariaan agar burung gacor alias jago berkicau.
Bayu paham betul burung dengan kualitas baik harus jelas bobot, bibit dan bebetnya. Jika insting tepat, keuntungan ekonomi ada di depan mata. Perawatan 3 bulan, siap pentas, harga bakal naik hingga 3 kali lipatnya.
Untuk sekarang ini love bird masih menjadi primadona buat kicau mania. Harga yang relatif tak terlampau tinggi ketimbang murai batu dan anis merah membuat burung asal Benua Afrika ini banyak diburu penghobi.
Ini tak lepas dari kaca mata bisnis Wahid Arif Rahmanto yang awalnya mengkhusukan diri menjadi peternak burung kicau jenis kenari.
Kini, Bapak 2 anak ini hampir 25 tahun menangkarkan love bird di lantai dua rumahnya. Permintaan berdatangan, termasuk dari luar Pulau Jawa.
Love bird punya keunikan, karakter burung berwarna cerah ini penuh teka-teki. Membedakan jantan dan wanita saja perlu kejelian.
Sementara itu, suasana khusyuk kegiatan belajar tak lagi tampak di sebuah kampus di Yogyakarta. Kicau mania dari seluruh negeri berkumpul membawa burung peliharannya masing-masing ke tempat itu.
Jarak 60 kilometer tak terlalu jauh buat Bayu dan paguyubannya. Sebab, ini menjadi ajang pembuktian dari perawatan dan latihan.
Soeharto Cup adalah satu dari tiga ajang lomba kicau burung paling bergengsi di Tanah Air. Teriakan lantang dari para pengunjung sangat dilarang, pada saat burung yang dikontes sedang berkicau. Ini membuat kinerja juri bisa lebih maksimal.
Satu yang termuda yakni Dedinda Davi Razt. Kecintaan pada burung kicau membuat mahasiswi universitas negeri di Jambi ini dipercaya bertugas menentukan juara.
Keberadaan wanita memberi warna baru di dunia burung kicau. Survei pelestari burung Indonesia dan Oxford University 6 tahun lalu menyebut, perputaran uang di sektor ini mencapai Rp 7 triliun dalam setahun. Fantastis.
Burung berkicau tak lagi sekadar hobi, apalagi simbol status kaum priyayi atau ningrat di Jawa. Makna penanda struktur sosial berubah jadi komersial.
Saksikan tayangan Potret Menembus Batas SCTV, Senin (4/4/2016), selengkapnya pada tautan video di bawah ini.Â