Kisah BI yang Kena Semprot Saat BI Rate Naik

BI sudah menaikan BI Rate sebesar 175 basis poin sejak tahun lalu.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 17 Des 2014, 21:01 WIB
Diterbitkan 17 Des 2014, 21:01 WIB
Ilustrasi Bank Indonesia
Ilustrasi Bank Indonesia (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) tercatat sudah menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 175 basis poin atau 1,75 persen sejak tahun lalu. Namun BI kerap kena semprot dari sejumlah pihak setiap kali mengumumkan kebijakan tersebut.

Dalam bincang-bincang media di Gedung BI, hari ini (17/12/2014), Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara mengisahkan pengalaman menderita dari Turki yang berusaha melawan pasar di saat membutuhkan dana dari luar negeri untuk menambal defisit transaksi berjalan.

Mirza menceritakan, ketika Eropa mengalami gonjang ganjing perekonomian di periode 2010, Turki menurunkan suku bunga acuan hingga 500 Bps. Apa yang terjadi? Lanjutnya, bukan memperbaiki perekonomian, malah menggerus mata uang Turki Lira.

"Akhirnya karena melemah kurs Lira, Turki naikkan lagi suku bunganya 500 Bps. Boleh saja punya keinginan tapi harus ada realitasnya, harus tahu pasar keuangannya seperti apa," ujar dia.

Setelah bertahan, sambungnya, Bank Sentral Turki kembali menurunkan suku bunga acuan karena ada isu tapering off dari Amerika Serikat (AS), tapi menyesuaikan lagi dari 3,5 persen menjadi 8 persen. "Karena dia nggak mampu melawan," ucapnya.

Sementara BI, kata dia, mendapat serbuan kemarahan akibat menaikkan BI Rate 1,75 persen. Padahal Mirza menyebut, kebijakan itu dilakukan demi menjaga stabilitas perekonomian Indonesia karena negara ini juga dilanda defisit transaksi berjalan.  

"BI baru naikkan 1,75 persen saja dimarahi, kan ini untuk kebaikan negeri ini, bukan kejelekan. Kalau bisa nurunin BI Rate, pasti kita lakukan. Namanya juga obat, akan terasa pahit," jelas dia.

Menurut Mirza, Turki dan Indonesia harus sanggup menghadapi kenyataan selama membukukan defisit transaksi berjalan dan membutuhkan pendanaan dari luar negeri.


"Turki dan Indonesia nggak bisa produksi dolar AS. Sementara kalau AS sedang resesi, nggak kolaps karena dolar AS kan mata uang dia sendiri," imbuhnya.   (Fik/Ndw)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya