Dihantam Data Ekonomi AS, Rupiah Hampir Sentuh 13.200 per Dolar

Keperkasaan dolar Amerika Serikat kembali menjadi hantaman besar yang membuat nilai tukar rupiah babak belur.

oleh Siska Amelie F Deil diperbarui 11 Mar 2015, 09:56 WIB
Diterbitkan 11 Mar 2015, 09:56 WIB
Rupiah
Rupiah (Antara Foto)

Liputan6.com, Jakarta - Keperkasaan dolar Amerika Serikat (AS) kembali menjadi hantaman besar yang membuat nilai tukar rupiah babak belur. Data-data ekonomi AS yang positif membentuk persepsi para pelaku pasar bahwa Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) akan segera menaikkan suku bunga acuan dalam waktu dekat.

Dengan adanya persepsi dari para pelaku saham tersebut, nilai tukar dolar AS menguat tajam terhadap hampir seluruh mata uang di dunia. Bahkan, penguatan dolar AS terhadap uero mencapai level tertinggi dalam 12 tahun terakhir.

Data valuta asing Bloomberg, Rabu (11/3/2015) menunjukkan nilai tukar rupiah dibuka melemah cukup parah ke level 13.196 per dolar AS. Nilai tukar rupiah tercatat melemah 0,57 persen ke level 13.168 per dolar AS pada perdagangan pukul 8:56 waktu Jakarta.

Masih di awal sesi perdagangan, nilai tukar rupiah masih berfluktuasi melemah di kisaran 13.145-13.198 per dolar AS.

Ekonom Standard Chartered Bank Indonesia, Eric Alexander Sugandi menjelaskan, data tenaga kerja AS pekan lalu yang melampaui ekspektasi memang menjadi sinyal baik bagi perekonomian AS dan mengirim dolar ke level yang lebih tinggi.

Bersama negara-negara berkembang lain, rupiah ikut terkena imbasnya. "Ini lebih karena faktor global, data ekonomi AS yang sangat positif. Bukan cuma rupiah saja yang melemah, tapi mata uang di negara berkembang lain juga ikut tertekan," terang Eric saat dihubungi Liputan6.com.

Eric mengingatkan, jika para pelaku pasar menangkap pelemahan rupiah sebagai usaha untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan, maka mereka akan segera melakukan penyesuaian saat rupiah berada di level 13.000 per dolar AS. Pasalnya pelemahan rupiah dapat membantu memulihkan ekspor manufaktur dari dalam mengeri.

"Jangan sampai ini menjadi tren jangka menengah. Kalau persepsi tentang upaya pengendalian defisit tidak dipahami, dikhawatirkan akan banyak investor portofolio yang meninggalkan Indonesia," tandasnya.

Sebenarnya secara fundamental sendiri perekonomian nasional sudah menunjukkan hal yang positif. Dalam dua bulan terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat telah terjadi deflasi. Selain itu, defisit neraca perdagangan juga terus mengalami penurunan. (Sis/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya