Ekonom: Jika Fundamental Baik, Pelemahan Rupiah Tak Dalam

Pelemahan hampir seluruh mata uang dunia terhadap dolar AS karena saat ini The Fed sedang menjalankan kebijakan pengetatan moneter.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 29 Mar 2015, 15:06 WIB
Diterbitkan 29 Mar 2015, 15:06 WIB
Seorang petugas menata uang di cash center BNI, Jakarta, Jumat (7/5). Setelah pengunduran diri Sri Mulyani, nilai tukar Rupiah untuk pertama kalinya menembus lagi level 9.200 per dolar AS.(Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom melihat pelemahan nilai tukar rupiah lebih disebabkan oleh faktor dari luar yaitu rencana Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) untuk melakukan pengetatan kebijakan moneter. Namun memang, seharusnya jika fundamental RI baik, pelemahan rupiah tidak akan terlalu dalam jika dibanding dengan negara-negara lain.

Ekonom PT Bank Sentral Asia Tbk (BCA), David Sumual menjelaskan, rupiah bukan satu-satunya mata uang yang melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Beberapa mata uang negara lain juga mengalami pelemahan yang cukup.

Ia mencontohkan, pelemahan yen terhadap dolar AS pada tahun lalu mencapai 20 persen." Euro bahkan lebih dalam lagi, belum lagi negara Afrika Selatan dan Rusia," jelasnya dalam acara Bincang Senator dengan tema 'Gejolak dan Masa Depan Rupiah' di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, Minggu (29/3/2015).

Pelemahan hampir seluruh mata uang dunia terhadap dolar AS tersebut karena saat ini The Fed sedang menjalankan kebijakan pengetatan moneter. Kejadian ini berkebalikan dengan 2008 hingga 2012 dimana The Fed menjalankan kebijakan moneter yang longgar. "Apalagi dalam waktu dekat The Fed akan menaikkan suku bunga, pelemahan bisa lebih dalam lagi" tambahnya.



David melanjutkan, seharusnya pelemahan rupiah bisa tidak terlalu dalam jika fundamental ekonomi dalam negeri cukup baik. Defisit transaksi berjalan cukup besar. BI mencatat defisit transaksi berjalan pada 2014 kemarin sebesar US$ 26,2 miliar atau 2,95 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, level tersebut mengalami penurunan. Di 2013, defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai US$ 29,1 miliar atau 3,18 persen dari  PDB.

Selain itu, utang luar negeri milik pemerintah, Bank Indonesia maupun swasta juga terus meningkat. Sebagain contoh,  pada Januari 2008, utang luar negeri swasta tercatat US$ 60 miliar. Jumah tersebut menjadi US$ 182 miliar tujuh tahun kemudian. Angka ini melampaui ULN pemerintah dan BI yang tercatat US$ 136 miliar. "Selain itu, ekspor terus mengalami penurunan," tambahnya.

Untuk diketahui, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, nilai tukar rupiah menunjukkan pelemahan pada Jumat (29/3/2015). Rupiah melemah dari 13.003 per dolar AS pada perdagangan sebelumnya menjadi 13.064 per dolar AS. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya