Masyarakat Belum Siap Harga BBM Naik Turun

Kenaikan harga BBM kembali menuai protes dari sejumlah kalangan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 30 Mar 2015, 08:20 WIB
Diterbitkan 30 Mar 2015, 08:20 WIB
Jelang BBM Naik, Warga Serbu SPBU
Antrean panjang tampak terlihat, mereka memburu BBM agar mendapatkan harga saat ini yakni premium Rp 6.500 per liter, dan solar Rp 5.500 per liter, Jakarta, Senin (17/11/2014). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar kembali menuai protes dari sejumlah kalangan. Sikap ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum siap dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan skema harga BBM berdasar nilai keekonomian.

"Harga BBM naik protes, marah-marah. Itu karena masyarakat kita nggak siap dengan naik turunnya harga BBM karena sudah biasa tetap dalam jangka waktu lama," ujar Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Natsir Mansyur di Jakarta, seperti ditulis Senin (30/3/2015).

Berbeda dengan negara lain, semisal Thailand. Natsir mengaku, masyarakat di Negeri Gajah Putih ini sangat terbiasa dengan perubahan harga BBM dalam waktu singkat. Harga tersebut hanya ditulis pada sebuah papan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) di Thailand.

"Mereka cuma menuliskan pakai spidol di papan SPBU, enggak perlu pemerintah mengumumkan setiap ada perubahan harga. Itu cuma dilakukan oleh perusahaan seperti Pertamina di Thailand," tambahnya.

Kebiasaan itu, kata Natsir, karena fundamental ekonomi Thailand sudah cukup kuat dibandingkan Indonesia. Perubahan harga tersebut, sambungnya sesuai dengan tingkat kesejahteraan warga Thailand.

"Sementara tingkat kesejahteraan di Indonesia kurang, begitu BBM naik marah-marah. Jarak kemiskinan di Indonesia sangat jauh," papar dia.

Terpisah, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi kepada Liputan6.com mengaku, ketidaksiapan masyarakat dengan kebijakan naik turunnya harga BBM karena pencabutan subsidi energi terutama BBM, pemerintah tidak memperhatikan daya beli masyarakat.

"Ini sangat penting karena terbukti pemerintah masih gagal mengendalikan dampak kenaikan dari pencabutan subsidi BBM. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok masih sangat tinggi. Juga tarif transportasi," tegas dia.

Pemerintah, lanjut Tulus, seharusnya tidak memberlakukan kebijakan penghapusan atau pencabutan subsidi energi secara serentak, seperti subsidi BBM, subsidi listrik dan subsidi gas.

"Sangat tidak fair jika dampak kenaikan harga minyak mentah dunia dan ambruknya kurs rupiah dibebankan sepenuhnya pada masyarakat. Pemerintah harusnya mulai berpikir serius pengembangan energi baru dan terbarukan, agar masyarakat tidak bergantung pada BBM. Apalagi impor BBM makin menggila," cetus Tulus.

Sekadar informasi, pemerintah menaikkan harga BBM Rp 500 per liter. Harga premium naik menjadi dari Rp 6.800 menjadi Rp 7.300 per liter dan solar dari Rp 6.400 menjadi Rp 6.900 per liter. (Fik/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya