Kepala BKPM Tak Kaget Buruh Ngotot Upah Naik Tahun Depan

Dewan Pengupahan masih menggodok formula khusus upah minimum sehingga diharapkan dapat menguntungkan bagi pihak pengusaha maupun buruh.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 28 Sep 2015, 17:27 WIB
Diterbitkan 28 Sep 2015, 17:27 WIB
20150901-Ratusan Buruh Mulai Kuasai Kawasan Patung Kuda-Jakarta
Ratusan buruh mulai terlihat berkumpul di sekitar kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (1/8/2015). Mereka menuntut pemerintah menghentikan gelombang PHK yang mengancam akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengaku tak kaget dengan tuntutan buruh yang mendesak kenaikan upah minimum sebesar 22 persen-25 persen pada tahun depan. Namun pihaknya akan berusaha memacu investasi sebagai salah satu penopang pertumbuhan ekonomi ke depan.

"Saya kira dari dulu pasti begitu (menuntut kenaikan upah). Minta 15 persen, 20 persen, sampai 30 persen. Itu biasa," ungkap Kepala BKPM, Franky Sibarani saat ditemui di kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (28/9/2015).

Menurut dia, Dewan Pengupahan masih menggodok formula khusus upah minimum sehingga diharapkan dapat menguntungkan bagi pihak pengusaha maupun buruh. Pasalnya penetapan upah merupakan salah satu pertimbangan penanam modal untuk berinvestasi di Indonesia.

"Setiap hari tidak sedikit buruh yang mengeluhkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tapi di sisi lain kita perlu investasi yang membuka lapangan kerja, mendorong industri padat karya yang menyerap tenaga kerja," tutur Franky.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman, sebelumnya meminta para buruh tidak egois dengan mendesak pemerintah maupun pelaku usaha menyesuaikan kenaikan upah minimum tahun depan hingga 22 persen.

"Kami sangat keberatan dengan tuntutan itu. Kita berharap teman-teman serikat pekerja menyadari, jangan memikirkan diri sendiri. Kita harus bersatu menyelamatkan kapal. Jika kapalnya karam dan tenggelam, mau menuntut berapa persen kenaikan tidak ada gunanya," tegas dia.

Industri makanan minuman, katanya, sedang didera masalah bertubi-tubi. Mulai dari penurunan produksi, anjloknya volume penjualan karena daya beli melemah, marjin tergerus karena perekonomian sedang memburuk, dan ambruknya kurs rupiah.

"Kita pernah sampai stop produksi karena beberapa kementerian yang mengeluarkan kebijakan stop impor garam. Karena ketidakpastian aturan ini, kita kehilangan nilai tambah meski porsi garam di bahan baku kecil. Perdebatan yang panjang soal bahan baku, bikin kita terganggu," keluh Adhi. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya