BI Diminta Jaga Rupiah Jangan Balik ke 14.000 per Dolar AS

Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia (BI) berfungsi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 12 Okt 2015, 09:30 WIB
Diterbitkan 12 Okt 2015, 09:30 WIB
Ilustrasi Bank Indonesia (2)
Ilustrasi Bank Indonesia

Liputan6.com, Jakarta - Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia (BI) berfungsi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Pengamat Valas, Farial Anwar mengingatkan BI untuk bisa mempertahankan penguatan kurs rupiah supaya tidak kembali terperosok ke level 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS).

"BI harus berupaya jangan sampai rupiah balik lagi ke 14.000 per dolar AS. Karena BI sudah ditolong pasar (asing masuk)," pinta Farial saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (12/10/2015).

Dijelaskannya, penguatan rupiah masih sangat rentan terhadap gejolak eksternal maupun internal. Pertama, kata Farial, Indonesia masih akan menghadapi kondisi ketidakpastian sampai dengan akhir tahun ini, terutama maju mundurnya kenaikan tingkat suku bunga AS (Fed Fund Rate).

"The Fed seperti main tebak-tebakan. Kita bisa jungkir balik karena kebijakan AS tersebut, ini kan konyol, masa setiap menjelang pertemuan FOMC, kita terombang ambing terus. Sudah dua tahun, gonjang ganjing suku bunga," tegas dia.

Kedua, lebih jauh dikatakan Farial, aliran dana asing yang masuk kategorinya uang panas (hot money), bukan berasal dari devisa yang dihasilkan sektor riil atau dunia usaha. Uang panas ini masuk dari pembelian saham maupun surat utang di pasar modal.

"Jangan bangga dulu dengan dana asing yang masuk, karena hot money ada risikonya. Kalau ada guncangan sedikit saja, misalnya spekulasi kenaikan suku bunga AS lagi, investor bisa saja kabur lagi, apalagi kita menganut devisa bebas," ucapnya.

Sementara kondisi di pasar modal Indonesia, lanjut Farial, sangat mudah aksi 'goreng menggoreng saham'. Pelaku pasar, menurut dia, masuk berinvestasi lebih karena pertimbangan ada peluang profit besar bukan melihat pertumbuhan ekonomi maupun data ekonomi Indonesia.

"Permainan hot money ini bikin pasar tidak sehat, makanya valas kita sangat tipis, tidak likuid," ujar dia.

Parahnya lagi, dirinya mengaku, permintaan dolar AS selalu tinggi pada akhir bulan atau akhir kuartal karena adanya kebutuhan perusahaan membayar cicilan utang atau bunga utang, dan lainnya sehingga hal ini akan memberi tekanan lagi pada nilai tukar rupiah.

Untuk itu, Farial berharap agar BI dapat tegas merealisasikan kebijakan yang sudah dikeluarkan dalam rangka stabilisasi kurs rupiah. Meliputi, intervensi menggelontorkan cadangan devisa (cadev) pada saat permintaan dolar di pasar sedang tinggi.

"Supaya kurs rupiah bertahan menguat sampai akhir tahun ini, BI tentu harus mengorbankan cadangan devisa yang masih US$ 101 miliar. Cadangan devisa masih cukup untuk intervensi hingga 31 Desember 2015," terangnya.

Cara lain supaya rupiah tidak kembali tenggelam ke level 14.000 per dolar AS, kata dia, betul-betul melaksanakan kewajiban penggunaan rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di samping itu, menjalankan kebijakan pembatasan pembelian dolar AS dan kebijakan lainnya.

"Jangan lagi ada pengecualian untuk pariwisata, pelabuhan atau lainnya. BUMN juga harus menjadi contoh, seperti penggunaan dolar AS oleh Pertamina harus dikendalikan supaya tidak mengganggu setiap akhir bulan tiba," pungkas Farial. (Fik/Ndw)*

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya