Liputan6.com, Jakarta - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan hingga kini masih diperselisihkan para serikat pekerja, terutama buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Pemerintah bahkan mengklaim kebijakan itu sebagai yang terbaik bagi pengusaha dan buruh.
Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri mengungkapkan, penerbitan PP 78 terkait Pengupahan telah mempertimbangkan dan mengakomodir pihak pekerja dan dunia usaha, serta masyarakat yang belum bekerja supaya mendorongnya masuk ke pasar kerja.
"Jadi kita minta sudahlah, tidak perlu diributkan lagi, karena ini sudah mengakomodir semua pihak. Fakta penerapannya di lapangan juga sudah terlihat baik," tegasnya saat ditemui di Jakarta, seperti ditulis Rabu (2/12/2015).
Baca Juga
Kata Hanif, kenaikan upah minimum yang berlandaskan pada regulasi tersebut rata-rata mencapai 11,5 persen. Penyesuaian upah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan basis kenaikan upah tanpa berpegang pada PP 78 dengan rata-rata kenaikan 6 persen-9 persen.
"Jadi fakta itu jangan dibantah. Kami minta semua pihak termasuk tenaga kerja untuk menerima semua ini. Biar tidak gaduh melulu. Kita minta janganlah ada upaya memaksakan kehendak, tidak boleh begitu, meski kita menghargai hak-hak demokrasi warga negara," jelas Hanif.
Saat dikonfirmasi perihal sikap pemerintah atas tuntutan buruh dengan ancaman demo lebih besar dibanding sebelumnya, Hanif enggan menanggapinya. Termasuk apakah pemerintah akan merevisi atau mengubah PP 78 terkait ancaman buruh.
"Sudah tidak usah membuat kesimpulan seperti itu. Kita lihat saja fakta penerapan PP di lapangan, dengan PP ini kenaikan upahnya lebih signifikan dibanding yang tidak menggunakan," ujarnya.
Buruh terus menuntut
Terus menuntut
Merasa seruannya tak ditanggapi oleh pemerintah, Koalisi Aksi Upah-Gerakan Buruh Indonesia (KAU-GBI) telah menyiapkan rangkaian aksi lanjutan untuk menyuarakan tuntutannya. Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), yang merupakan salah satu elemen dari KAU-GBI, mengatakan, pihaknya bersama serikat pekerja lain akan melanjutkan aksi dengan tuntutan yang sama seperti sebelum-sebelumnya.
"KAU-GBI serta buruh akan terus melanjutkan aksi perjuangannya pasca mogok nasional dengan tuntutan yang sama yaitu cabut PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, menolak formula kenaikan upah minimum yang berdasarkan Inflasi dan PDB. Juga meminta para gubernur, bupat, walikota menaikan upah minimum 2016 berkisar Rp 500 ribuan dan menetapkan upah minimum sektoral," ujarnya.
Serangkaian aksi yang akan dilakukan oleh buruh untuk memperjuangkan tuntutan-tuntutan tersebut, pertama, buruh akan mengajukan peninjauan kembali (judicial review) terhadap PP Nomor 78 Tahun 2015 ke Mahkamah Agung (MA).
Kedua, melaporkan tindakan pelanggaran terhadap kebebasan berserikat ke organisasi-organisasi internasional seperti ke International Labour Organization (ILO) yang berlokasi di Genewa, Swiss.
Ketiga, mengirim surat ke Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Amerika (USA) dan Australia agar berhenti memberikan bantuan ke Polri karena aksi represif atau kekerasan dan penangkapan kepada buruh dan pimpinan buruh.
"Keempat, mendesak DPR RI membentuk pansus upah PP Nomor 78 Tahun 2015," kata dia.
Kelima, buruh juga akan kembali menggelar aksi unjuk rasa yang akan diikuti oleh 10 ribu buruh Se-Jabodetabek di depan gedung DPR RI pada 4 Desember 2015 untuk menuntut pembentukan pansus upah PP 78/2015.
Keenam, sebanyak 50 ribu buruh akan kembali melakukan aksi 50 ribu buruh pada 10 Desember di Istana Negara dan MA sekaligus menyerahkan JR PP 78/2015 ke MA.
"Selain itu, secara serempak pada tanggal 10 Desember tersebut ratusan ribu buruh kembali aksi turun ke jalan di 22 provinsi dan 200 kabupaten dan kota," jelasnya.
Advertisement