‎Penyerapan Anggaran Jadi Penentu Pertumbuhan Sektor Konstruksi

Pemerintah mengalokasikan anggaran infrastruktur sebesar Rp 313,5 triliun atau 8,0 persen.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 02 Des 2015, 10:58 WIB
Diterbitkan 02 Des 2015, 10:58 WIB
Sektor Konstruksi Indonesia Berkembang Pesat
Sektor konstruksi memiliki peranan penting dalam perekonomian negara.

Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Pelaksana Konstruksi (Gapensi) memperkirakan kontribusi sektor konstruksi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2016 pada kisaran 15 sampai 16 persen. Target tersebut dibumbui catatan jika tahun depan terjadi peningkatan investasi swasta secara signifikan dan belanja pemerintah berjalan lancar.

Sekjen BPP Gapensi, H Andi Rukman Karumpa mengatakan, investasi swasta dapat tumbuh atraktif dan akan menopang pertumbuhan sektor konstruksi dan bahan bangunan bila tujuh paket ekonomi yang diluncurkan pemerintah dapat efektif tahun depan.

“Makanya, kami optimistis kontribusi bisa 15 persen hingga 16 persen, tapi dengan catatan paket ekonomi ini efektif betul tahun depan. Paket ekonomi ini kan kalau terealisasi daya dorongnya luar biasa atas perekonomian,” ujar Andi dalam keterangannya, Rabu (2/12/2015).

Penopang lainnya, ujar dia, ditentukan oleh daya serap anggaran pemerintah. Tahun depan, belanja negara sebesar Rp 2.095,7 triliun dengan distribusi anggaran masing-masing Rp 784,1 triliun untuk belanja kementerian dan lembaga, Rp 541,4 triliun belanja non kementerian dan lembaga, serta sebesar Rp 770,2 triliun untuk ditransfer ke daerah dan desa.


Dari dana tersebut, pemerintah mengalokasikan anggaran infrastruktur sebesar Rp 313,5 triliun atau 8,0 persen. Anggaran tersebut lebih besar dari alokasi anggaran infrastruktur dalam APBNP tahun 2015.

Andi mengatakan, kian seksinya sektor konstruksi tak lain juga disebabkan oleh rencana besar pemerintah dalam pembangunan infrastruktur tahun depan. Selain pemerintah, ujar Andi, industri konstruksi juga ditopang oleh pertumbuhan industri properti yang diprediksi tumbuh 8 persen sampai 9 persen pada 2016.

“Dengan catatan, ekspektasi para pengembang kelas kakap ini tetap terjaga atas sejumlah paket kebijakan ekonomi yang sudah diluncurkan pemerintah. Kan properti yang banyak dapat insentif di paket-paket itu,” pungkas Andi.

Salah satu cara menjaga momentum ekspektasi itu, ujar Andi, dengan mempercepat serapan anggaran pada kuartal pertama 2016. “Kalau ini dapat terealisasai, properti langsung lari kencang. Kita juga lari kencang,” pungkas Andi.

Andi mengatakan, sektor konstruksi berperan besar dalam perekonomian negara dan merupakan kontributor penting bagi proses pembangunan infrastruktur. Sebab itu, industri ini butuh dukungan dan proteksi yang kuat dari pemerintah dan legislatif. Sebab itu, dia berharap tahun ini RUU Jasa Konstruksi sudah disahkan menjadi Undang-Undang (UU).

Sebagaimana diketahui pada tahun 2013, pasar konstruksi tumbuh sekitar 29,80 persen dan menjadi Rp 369,94 triliun dari tahun 2012 sebesar Rp 284,99 triliun. Pekerja saat membangun tiang konstruksi pembangunan gedung di Jakarta Pusat, Senin (19/10/2015). Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2015 sebesar 4,85 persen. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)
Adapun tahun 2015, diperkirakan mencapai Rp 446 triliun. Nilai pasar ini naik 14,3 persen dari 2014 sebesar Rp 390 triliun. Sedangkan konstribusi sektor konstruksi PDB tumbuh dari sekitar 7,07 persen di tahun 2009 menjadi 13 persen pada 2014.

Dalam lima tahun ke depan, Gapensi memproyeksikan nilai pasar konstruksi mencapai Rp 1000 triliun.

“Dari sisi demografis,saat ini proyek konstruksi nasional terbanyak berada di Sumatra sebesar 32 persen, disusul Jakarta 28 persen, Kalimantan 19 persen, Jawa Barat 17 persen, Bali-Nusa Tenggara 11 persen, Jawa Tengah dan Yogyakarta 10 persen, Jawa Timur 3 persen dan Sulawesi-Maluku-Papua 3 persen,” ungkap Andi.

Berdasarkan data Gapensi, nilai pasar konstruksi nasional Indonesia berada pada posisi keempat terbesar di Asia, di bawah Tiongkok (1,78 triliun dolar AS), Jepang (742 miliar dolar AS), dan India (427 miliar dolar AS)‎. (Yas/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya