Liputan6.com, Jakarta Dewan Energi Nasional (DEN) menyangsikan kemampuan Indonesia dalam membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Ada beberapa alasan pembangkit nuklir belum layak ada di Indonesia saat ini, mulai dari segi keamanan dan keselamatan, investasi yang mahal, termasuk lokasi. Hanya ada dua lokasi di Indonesia yang cocok dibangun PLTN.
"Tidak rasional lagi Indonesia membangun PLTN karena sudah tidak ada lagi area yang aman dari bencana alam, salah satunya gempa," ucap Anggota DEN, Rinaldy Dalimi usai Diskusi Energi Kita di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (10/1/2016).
Dijelaskannya, ada dua daerah di Indonesia yang sangat memungkinkan untuk dibangun pembangkit nuklir, yakni Bangka Belitung (Babel) dan Kalimantan. Pasalnya dua lokasi tersebut merupakan daerah paling aman dari gempa. Tapi belum lama ini, terjadi gempa di Babel dan Kalimantan.
Advertisement
Baca Juga
"Jadi sudah tidak ada area di Indonesia yang sekarang bebas dari gempa. Padahal gempa adalah ancaman besar dari pembangkit nuklir, seperti retak atau pecah," ujarnya.
Meski demikian, Rinaldy mengatakan, PLTN dapat menyebabkan kecelakaan. Kecelakaan itu bisa berasal dari bencana alam atau gempa, kesalahan desain dan kesalahan operasi, bukan teknologi. Kecelakaan tersebut dapat dimungkinkan terjadi di Indonesia.
"Bencana alam, kesalahan desain karena kita tidak punya teknologi sehingga kalaupun mau bangun PLTN harus 100 persen dibangun negara lain. Kita juga tidak menguasai desain, sehingga kita benar-benar tidak punya kemampuan untuk bangun PLTN," tegasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, realisasi PLTN hanya akan menggerus uang negara mengingat Indonesia harus mengimpor uranium dengan harga sangat mahal. Bahkan Australia, tambah Rinaldy, negara pengimpor uranium terbesar dan mempunyai deposit uranium banyak saja menyatakan tidak akan membangun PLTN.
"Belum lagi investasi bangun PLTN 4-5 kali dari PLTU. Kalau PLTU per Kilowatt (Kw) US$ 1.500, maka PLTN bisa mencapai US$ 6.000-US$ 8.000 per Kw. Sedangkan harga jualnya sudah lebih dari harga PLN, misalnya di Babel US$ 12 sen per Kw, jadi perlu ada tambahan subsidi. Ini yang tidak dimengerti kepala daerahnya, sehingga tetap mau bangun PLTN," jelasnya.
Rinaldy mengaku, PLTN merupakan pilihan sumber energi terakhir tanpa harus ngotot mewujudkannya. Namun Batan Teknologi tetap diminta untuk mengembangkan dan menguasai teknologi nuklir, seperti teknologi fusi (matahari) atau torium karena tidak menimbulkan radiasi.
"Dari dulu, Pak Boediono sudah bilang PLTN belum akan dibangun, tapi Indonesia akan mengembangkan teknologi nuklir untuk non energi, seperti persenjataan, dan lainnya," cetus Rinaldy. (Fik/Zul)