Liputan6.com, Jakarta - Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) meminta pemerintah mengkaji kembali proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Peneliti Junior FITRA, Gulfino Guevarrato menuturkan proyek itu membutuhkan dana besar sekitar US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 77 triliun. Proyek itu digarap oleh konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT KAI, PT Jasa Marga Tbk (JSMR), PTPN VIII.
Baca Juga
Ia menuturkan, kondisi BUMN yang sekarang dinilai belum kuat untuk menggarap proyek kereta itu. Dia mencontohkan, PT KAI kehilangan laba sekitar 25 persen karena penarikan dividen. Selain itu, perseroan juga membayar utang investasi Rp 1,2 triliun.
Advertisement
"PT KAI menunda pembelian kereta menunjukkan keuangan tidak baik," ujar dia, Senin (15/2/2016).
Baca Juga
Tak sekadar itu, konsorsium juga akan diberatkan oleh pembayaran bunga. Apa lagi perusahaan akan dibebani dua jenis bunga dari dolar Amerika Serikat (AS) dan yuan.
Dari perhitungannya, sekitar 60 persen menggunakan pinjaman dalam bentuk dolar AS sehingga akan dikenakan bunga dua persen per tahun. Itu berarti, perusahaan akan membayar bunga Rp 917,4 miliar per tahun. Sisanya pinjaman dalam bentuk yuan dengan bunga 3,4 persen per tahun akan membayar bunga Rp 1,04 triliun per tahun.
Perusahaan juga berencana mengoperasikan 11 rangkaian kereta yang terdiri dari delapan gerbong maka akan mengangkut 12.826 penumpang pergi pulang sekali jalan.
Berdasarkan data FITRA, jumlah penumpang kereta api Argo Parahyangan menurun meski harga tiketnya lebih murah dari yang dipatok kereta cepat sekitar Rp 225 ribu. Pada 2010, jumlah penumpang mencapai 592.434. Angka itu menurun menjadi 436.244 pada 2011, dan menyusut menjadi 398.938 pada 2012.
"Kami membandingkan Argo Parahyangan. 3 tahun berdirinya selalu menurun setiap tahun," ujar dia.
Dia juga menuturkan, Shinkansen baru mendapat untung sekitar 8 tahun di Jepang. Lalu China 1 dari 5 kereta cepat yang beroperasi hanya 1 yang balik modal.
"Tujuannya bagian untuk membangun lebih maju, di daerah infrastruktur misal distribusi teknologi ada tujuan politis, ini menjadi bancakan (dibagi-bagi)," ujar dia.
Sebelumnya Direktur Transportasi Kementerian PPN/Bappenas Bambang Prihartono ‎mengatakan, sama seperti proyek pembangunan angkutan massal lainnya, proyek kereta cepat sebenarnya merupakan proyek rugi. Hal ini tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
"Di mana ada angkutan massal itu untung? Itu proyek rugi. Di Belanda, Prancis, Inggris itu ditanggung pemerintah.MRT juga awalnya rugi dulu," ujar dia Jumat 12 Februari 2016.
Namun demikian, di sisi lain, keberadaan kereta cepat juga memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Seperti halnya yang terjadi di China.
Dari studi kasus kereta cepat Beijing-Shanghai, keberadaan moda transportasi tersebut mampu mendorong pertumbuhan GDP kota-kota yang dilaluinya. Seperti di kota Jinan yang GDP-nya mampu tumbuh 0,55 persen per tahun, ‎di Jilin sebesar 0,63 persen dan di Dezhou sebesar 1 persen.
"Jadi kita lihat proyek ini sebagai key driver untuk pengembangan wilayah. Di China, tiap daerah yang disinggahi itu tumbuh 0,6 persen-1 persen‎. Selain itu, ini juga bisa memotong biaya logistik sebesar 1 persen," kata dia.
Oleh sebab itu, meski proyek tersebut merupakan proyek rugi, namun jika masih memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi, maka proyek tersebut akan mendapatkan dukungan dari pemerintah.
"Kalau dilihat secara single proyek ya memang rugi. Karena itu muncul peran pemerintah dalam hal percepatan perizinan. Kalau dipercepat, itu keuntungan yang besar buat swasta," ujar dia. (Amd/Ahm)