Pungutan Rp 200 Tak Ampuh Kurangi Konsumsi Kantong Plastik

Program diet kantong plastik hampir sebulan berjalan,. Namun penggunaan kantong plastik masih marak di toko-toko modern di Jakarta.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 13 Apr 2016, 14:11 WIB
Diterbitkan 13 Apr 2016, 14:11 WIB
Pemerintah Siap Terapkan Kantong Plastik Berbayar
Konsumen membawa barang yang telah dibeli menggunakan kantong plastik di salah satu mini market di Pasar Baru, Jakarta, Senin (22/2). Pemerintah mulai menguji coba penerapan kantong plastik berbayar di ritel modern. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta - Program diet kantong plastik hampir sebulan berjalan. Namun penggunaan kantong plastik masih marak di toko-toko modern di Jakarta. Hal tersebut terungkap dalam survei dengan tajuk "Efektivitas Uji Coba Kantong Plastik Berbayar" yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Dalam survei tersebut juga ditarik kesimpulan bahwa penyebab belum turunnya konsumsi kantong plastik karena berbagai alasan. Mulai dari harga yang terlalu murah Rp 200 per lembar sampai kantong alternatif yang kemahalan.

Survei tersebut melibatkan 222 responden dengan sampel penelitian 15 nama retail modern dari 25 retail yang berlokasi di DKI Jakarta. Terdiri atas kategori 11 minimarket, supermarket, dan hypermarket, serta enam departement store.

Peneliti YLKI Natalya Kurniawati menjelaskan terjadinya penurunan jumlah konsumsi kantong plastik pada konsumen sebesar 64 persen dari 16 retail. Sementara yang menjawab tidak ada penurunan sebanyak sembilan retail atau 36 persen.

"Penurunan jumlah transaksi pembelian kantong plastik di satu retail atau 4 persen. Yang menyatakan tidak ada 13 retail atau 52 persen dan tidak tahu 11 retail atau 44 persen. Tapi itu kan klaim si kasir," ujar Natalya di Jakarta, Rabu (13/4/2016).

Dari pengamatan jumlah transaksi selama 10 menit pada kasir, diperoleh transaksi tertinggi selama 10 menit adalah 21 transaksi dengan 10 konsumen di antaranya masih menggunakan kantong plastik.

Ia mengatakan dari 222 responden, sebanyak 83 responden masih menggunakan rata-rata kantong plastik ketika berbelanja sebanyak kurang dari tiga kantong. Sebanyak 29 responden menggunakan tiga-empat lembar kantong dan lebih dari empat kantong pada tujuh responden.

Sementara konsumen yang tidak menggunakan kantong plastik atau membawa tas belanja sendiri mencapai 103 responden atau 46,4 persen.

"Tapi dari total 103 responden yang tidak menggunakan plastik, 40 orang diantaranya menyatakan tetap pakai kantong plastik selama belum ada kantong plastik belanja alternatif dan harga kantong plastik lebih masih terjangkau," tutur Natalya.

Dilihat dari alasan konsumen tetap membeli kantong plastik, sambungnya, pertama karena tidak membawa kantong belanja sendiri sebanyak 83 orang. Alasan kedua, belanjaan terlalu banyak dengan 18 responden.

Ketiga, 12 responden lain mengaku tidak ada kantong belanja alternatif, keempat, harga kantong plastik masih terjangkau sebanyak 43 responden dan terakhir, karena praktis sebanyak tiga responden.

"Dari 222 responden, 159 orang memberkan alasan tetap pakai kantong plastik dan 63 orang lain tidak menggunakannya," katanya.

Natalya menambahkan kantong belanja alternatif yang ditawarkan toko modern masih disebut mahal oleh konsumen. Ia menyebut harga paling murah kantong belanja alternatif sebesar Rp 4.900 per buah dan paling mahal yang dipatok Ace Hardware dengan harga Rp 69.900 per kantong.

"Harga kantong plastik Rp 200 masih dianggap murah dan kantong altenatif disebut kemahalan, sehingga membuat konsumsi kantong plastik tidak turun signifikan. Karena 50-60 persen konsumen masih menggunakan kantong kresek," ucapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan kebijakan kantong plastik berbayar Rp 200 ternyata tidak cukup ampuh menurunkan konsumsi kantong plastik di toko modern. Apalagi pasar tradisional masih bebas bertransaksi dengan kantong plastik non-berbayar.

"Hanya Rp 200 bukan alasan masyarakat setop belanja, mana berarti buat mereka. Wong lima kantong saja cuma bayar Rp 1.000 kok. Kalau semua menerapkan termasuk pasar tradisional tidak ada yang bisa bermigrasi dan harganya perlu dinaikkan minimal Rp 1.000 per lembar lah," kata Tulus. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya