Sri Mulyani Angkat Bicara Soal Panama Papers

Bank Dunia telah mendukung upaya reformasi pajak yang telah dilakukan oleh Indonesia.

oleh Arthur Gideon diperbarui 21 Apr 2016, 20:49 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2016, 20:49 WIB
Sri Mulyani
Sri Mulyani (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Panama Papers menjadi pembicaraan hangat dalam beberapa pekan terakhir. Lebih dari 11,5 juta dokumen yang dimiliki oleh perusahaan hukum berbasis di Panama, Mossack Fonseca bocor. Dokumen tersebut terdapat nama sejumlah tokoh dunia yang diduga mendirikan perusahaan offshore di luar negeri.

Nama-nama tersebut diduga menjalankan praktik penyembunyian harta dan penghindaran pembayaran pajak. Kebocoran informasi ini juga menunjukan satu hal lain yaitu kepercayaan publik akan tercedera ketika perusahaan besar serta kelompok kaya dan kuat dapat menyembunyikan kekayaanya tanpa melanggar hukum.

World Bank Group Managing Director and Chief Operating Officer Sri Mulyani Indrawati pun ikut angkat bicara mengenai kasus Panama Papers ini. Menurutnya, Kebocoran Panama Papers dapat menginspirasi adanya sistem pajak internasional yang lebih kuat dan adil, berdasarkan sistem yang kokoh, lembaga yang bagus, dan berintegritas.

Sebelum bocornya dokumen tersebut, ada serangkaian upaya dari negara G20 dan forum internasional lainnya untuk menciptakan sistem pajak yang kuat dan mempromosikan kerja sama perpajakan internastional yang mengikat.

"Kini saatnya mengubah janji itu menjadi aksi," jelasnya seperti ditulis Liputan6.com pada Kamis (21/4/2016).

Demi mencapai tujuan global untuk mengentaskan kemiskinan dan memperluas kesejahteraan bersama, World Bank (Bank Dunia) pun membantu negara-negara mengatasi tantangan kebijakan pajak dan administrasi.

Tantangan-tantangan tersebut antara lain pelaku bisnis baik asing dan domestik yang tidak taat peraturan pajak, usaha informal yang banyak tidak terdaftar, administrasi penerimaan yang lemah, tata kelola pemerintahan yang buruk, dan ketidakpercaayaan publik.

Bank Dunia juga telah mendukung upaya reformasi pajak yang telah dilakukan oleh Indonesia, dan meningkatkan kapasitas untuk melakukan tindakan-tindakan lebih besar. 

ia melanjutkan, Tim Pajak Global baru-baru ini dibentuk untuk mengumpulkan berbagai pandangan dan serangkaian masalah khusus yang dihadapi guna menemukan solusi. 

"Kami mendengar bahwa mereka menginginkan bantuan terkait masalah pajak internasional, seperti transfer pricing - sebuah praktik yang dilakukan perusahaan-perusahaan internasional untuk menggeser keuntungan bagi anak perusahaannya dan meminimalkan beban pajak." tambahnya. 

Tim Pajak Global juga mencarikan bantuan dengan kebijakan pajak, termasuk pajak pertambahan nilai, dan isu-isu terkait transparansi, termasuk pengumpulan data pajak, dan pengungkapan pendapatan sumber daya alam.

"Tim kami sudah bekerja sama dengan pemerintah Pakistan, Kolombia, dan beberapa negara di Eropa Timur untuk melakukan perbaikan," kata dia. 

Bank Dunia akan memasukkan temuan tersebut dalam bentuk inisiatif bersama dengan Dana Moneter Internasional (IMF), kelompok negara-negara maju, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lain-lain. 

Inisiatif ini dirancang untuk membantu negara anggota memperkuat sistem pajak mereka, mengkoordinasikan bantuan yang berhubungan dengan pajak global, dan memastikan bahwa kepentingan negara berkembang didengar dalam dialog internasional untuk memperbaiki reformasi pajak. 

Sistem Perpajakan Indonesia

Sistem Perpajakan Indonesia

Sri Mulyani melanjutkan, skandal Panama Papers mengingatkan kita bahwa praktek penyembunyian harta dan penghindaran pembayaran pajak bukan saja marak, namun dalam banyak kasus merupakan tindak pelanggaran hukum.

Namun, kebocoran informasi ini juga menunjukan satu hal lain yaitu kepercayaan publik akan tercedera ketika perusahaan besar serta kelompok kaya dan kuat dapat menyembunyikan kekayaanya tanpa melanggar hukum.

Bila pelanggaran ini tidak ditanggapi, maka mereka yang kurang kaya untuk menyembunyikan harta akan enggan membayar pajak dan berkontribusi terhadap kontrak sosial berwujud pembayaran pajak - yang dipertukarkan untuk memperoleh layanan berkualitas dari negara.

"Sebagai Menteri Keuangan Indonesia di negara asal saya Indonesia, saya melihat sendiri bagaimana lemahnya sistem pajak mengikis kepercayaan publik dan menimbulkan kapitalisme kroni," tuturnya.

Selain itu, lemahnya sistem pajak juga memunculkan pasar gelap untuk bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, nepotisme untuk mendapatkan pekerjaan, praktek suap di kalangan pegawai pemerintahan.

Pengemplangan pajak di kalangan elit menjadi praktik umum, mengakibatkan negara tidak mampu memobilisasi sumber daya yang diperlukan untuk membangun infrastruktur, menyediakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan.

Menurut Sri, memperkenalkan konsep transparansi dan akutabilitas ke dalam sistem yang rusak adalah hal yang sulit dan menghadapi perlawanan politik.

"Kami berupaya memperbaiki hal-hal teknis yang kelihatannya mendasar namun pada saat itu belum ada. Misalnya, sistem audit yang lebih baik, pengawasan internal yang lebih kuat, dan sistim teknologi informasi yang baru guna meminimalkan interaksi pribadi dan peluang menerima suap. Kami juga memberi insetif kepada PNS untuk meningkatkan semangat dan kedisiplinan mereka," tuturnya. 

Indonesia adalah salah satu contoh bagaimana kontrak sosial yang rusak dapat menghambat proses pembangunan. Mobilisasi sumber daya dan pelayanan untuk pembangunan merupakan tantangan global di banyak negara yang tidak punya basis pajak yang baik dan kapasitas untuk menciptakannya.

Sekitar 50 persen dari negara berkembang hanya mendapatkan kontribusi penerimaan pajak kurang dari 15 persen dari produk domestik bruto (PDB). Kebanyakan dari negara tersebut masih tergantung terhadap pada penerimaan sumber daya alam. Sementara di negara maju, kontribusi pemasukan pajak mencapai 34 persen.

Lima tahun setelah memulai reformasi sistem pajak, jumlah penyetor pajak di Indonesia naik dari 4.35 juta menjadi hampir 16 juta. Penerimaan pajak naik sekitar 20 persen setiap tahun.

"Dengan pemasukan ini, kami memperkuat anggaran, memangkas hutang dan memperkuat kapasitas negara untuk menyediakan layanan, seperti akses jalan, air bersih, dan layanan kesehatan. Ekonomi yang kuat membantu, namun kami juga membangun kepercayaan sektor swasta yang diperlukan untuk berinvestasi dan menciptakan lapangan kerja," pungkasnya. (Gdn/Ndw)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya