Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) konsisten melaksanakan reformasi kebijakan guna memacu pertumbuhan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian dunia. Untuk bisa mewujudkan reformasi kebijakan tersebut, masyarakat Indonesia harus dipaksa untuk berkompetisi.
Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong mengungkapkan, Indonesia baru menjalankan 3-5 persen reformasi kebijakan. Arah kebijakan perdagangan berubah dari langkah proteksi menuju lebih terbuka.
Baca Juga
"Salah satu senjata Pak Jokowi adalah beliau sangat jujur. Kelugasan, kejujuran Pak Jokowi mengakui bahwa kita pernah mengambil jalan yang salah. Dan kejujuran ini membuat saya juga jujur dan pragmatis," tutur dia saat sambutan di Laporan Indonesia Economic Quarterly Bank Dunia di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (20/6/2016).
Advertisement
Baca Juga
Kata Thomas, kebijakan yang menimbulkan permasalahan adalah soal impor. Dia mengaku, dalam satu dekade terakhir, pemerintah tidak terlalu nyaman dengan impor. Pemerintah mendorong penurunan kegiatan impor untuk melindungi pasar dalam negeri.
"Kita yakin makin sedikit impor, semakin baik. Importasi adalah sesuatu hal yang buruk. Apalagi 70 persen impor kita bahan baku atau barang modal. Tapi di satu sisi kita ekspor, sehingga sebagai pengusaha domestik, perlu mengalahkan impor. Jika tidak bisa mengalahkan impor di Negara sendiri, bagaimana Anda akan mengalahkan negara asal impor," tegas dia.
Lebih jauh Thomas mengatakan, orang Indonesia harus dipaksa berkompetisi agar melahirkan produk berkualitas dan berdaya saing tinggi. Hal ini pernah dialami industri penerbangan di Tanah Air. Ketika maskapai penerbangan di Indonesia hanya dikuasai tiga perusahaan, pemerintah membuka peluang masuknya maskapai lain.
Akibatnya, pelayanan semakin meningkat, bahkan industri penerbangan saat ini sudah 4 kali lebih besar dibanding sebelumnya. Garuda Indonesia, sambung Tom, yang pernah mencetak rugi, bahkan bangkrut dua kali kini bangkit dan menjadi salah satu maskapai penerbangan berbintang lima.
Tom mengaku, Indonesia perlu inovasi dalam ekspor bukan saja untuk produk manufaktur, barang konsumsi tapi juga industri jasa yang membutuhkan sumber daya manusia berkompeten. Mendorong industri pariwisata untuk meraup devisa secara signifikan, seperti China yang mampu menarik 150 juta wisatawan mancanegara dengan devisa US$ 400 miliar sampai US$ 500 miliar per tahun.
"Indonesia belum menangkap peluang ini, karena masih berkutat pada komoditas tambang, perkebunan, pertanian. Jadi Indonesia harus berinovasi produk dari manufaktur ke barang konsumsi maupun industri services," tandas dia.