Jaga Ekonomi Tumbuh, Pemerintah Harus Jamin Pasokan Listrik

Cukup sulit bagi pemerintah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi pada level ideal bila pasokan listrik tidak mencukupi tiap tahun.

oleh Nurmayanti diperbarui 08 Agu 2016, 15:15 WIB
Diterbitkan 08 Agu 2016, 15:15 WIB
Pemasangan Listrik Prabayar
Citizen6, Malang: Unit Pelayanan Jaringan ( UPJ) Tumpang melakukan pemeliharan Jaringan 20 KV, dalam peningkatan kemampuan pasokan dan pelayanan listrik di desa Ranupani kec. Senduro, Kab. Lumajang Jawa Timur, Sabtu (7/4). (Pengirim: Badarudin Bakri)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta menjamin ketersediaan listrik untuk industri dan konsumsi. Sebab kebutuhan listrik nasional diprediksi terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi nasional.

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun ini tumbuh mencapai 5,18 persen (year on year), lebih tinggi dibanding kuartal I sebesar 4,91 persen dan kuartal II 2015 sebesar 4,66 persen. Pertumbuhan diperkirakan terus meningkat menjadi 5,2 persen pada kuartal III dan 5,3 persen di kuartal IV.

“Dari sisi demand akan membesar, sebab ekonomi di luar dugaan tumbuh 5,18 persen. Momentum ini perlu dijaga dengan memberikan kepastian bahwa listrik tersedia untuk pertumbuhan ekonomi. Ekonomi kita lemahnya di pasokan listrik ini,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Listik Swasta Indonesia (APLSI) Priamanaya Djan di Jakarta, Senin (8/8/2016).

Pria mengatakan, cukup sulit bagi pemerintah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi pada level ideal bila pasokan listrik tidak mencukupi tiap tahun.

”Kuartalan berikut akan berat kalau pasokan listrik melemah. Setrum ini bisa mengerem pertumbuhan (ekonomi) loh,” ungkap dia.

Dia mengingatkan, dengan pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5 persen-7 persen, Indonesia membutuhkan pasokan listrik baru sekitar 5000-7000 mega watt (MW) per tahun. Bahkan, setiap tahun akan terjadi peningkatan konsumsi listrik rata-rata sebesar 10,1 persen.

Dengan demikian, diproyeksikan kebutuhan listrik nasional sebesar 171 terawatt hour (TWh)  akan menjadi 1.075 TWh pada tahun 2031. Namun dengan kapasitas listrik terpasang saat ini dan masih rendahnya pasokan listrik baru, Indonesia masih akan mengalami krisis listrik.

Sejalan dengan itu, Wakil Bendahara Umum APLSI Rizka Armadhana mengingatkan  cadangan listrik Indonesia saat ini masih sangat rendah sehingga rentan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Di mana, cadangan listrik ideal sebuah negara adalah sebesar 30 persen. Sedangkan cadangan listrik nasional masih sangat rendah hanya sebesar 10 persen.

“Kita bandingkan dengan cadangan listrik Singapura yang mencapai 100%. Dengan pencadangan yang tipis ini Indonesia selalu terancam pemadaman dan ekonominya lagi yang kena,” pungkas Rizka.

Sebab itu, APLSI mengingatkan untuk menjaga momentum itu, pemerintah dan PLN serta produsen swasta (IPP) perlu segera melakukan konsolidasi untuk mengejar tambahan 7000 MW per tahun dalam memenuhi target proyek listrik 35 ribu MW. “Kendala memang banyak, tapi proyek ini harus segera melaju kalau kita ingin ekonomi terselamatkan,” pungkas Rizka. 

Produsen berharap PLN bersinergi dengan IPP dalam pembangunan 35.000 MW sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Operator listrik juga perlu mempercepat tender porsi swasta yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

Pasokan Listrik Natuna

Pasokan Listrik Natuna

Di sisi lain, Ekonom Enny Sri Hartati meminta pemerintah lebih serius dalam mengelola sumber energi untuk kebutuhan pembangkit listrik di Natuna. Sebab saat ini, Natuna mempunyai cadangan gas berlimpah.

Dia berharap, gas tersebut yang bisa menjadi sumber energi utama untuk pembangkit listrik di Natuna. Sudah saatnya, Pemerintah tidak lagi bergantung pada bahan bakar minyak.

Apalagi data menunjukkan, banyak potensi ekonomi yang bisa dikembangkan di Natuna. "Di Natuna itu punya sumber daya komoditas strategis, seperti perikanan, sehingga juga harus didukung oleh ketersediaan infrastruktur energi, dalam hal ini listrik," ujar dia.

Apalagi jika pemerintah hendak mendorong investasi ke Natuna, sudah seharusnya infrastruktur untuk menunjang potensi gas yang besar di Natuna disiapkan. Termasuk menyiapkan teknologi power plant yang paling efisien.

"Harus dipilih juga pembangkit listrik yang paling cepat dan efisien di sana, sekaligus mampu memanfaatkan potensi gas yang masih sangat besar," ujar Enny.

Seperti diketahui, selain minyak bumi, wilayah Natuna disebut-sebut menyimpan cadangan gas alam terbesar di dunia. Misalkan Blok Natuna D-Alpha, yang menyimpan cadangan gas dengan volume 222 triliun kaki kubik (TCT). Cadangan itu tidak akan habis hingga 30 tahun mendatang.

Sementara itu, potensi gas yang recoverable di Natuna sebesar 46 tcf (triliun cubic feet) atau setara dengan 8,383 miliar barel minyak.  Jika digabung dengan minyak bumi, terdapat sekitar 500 juta barel cadangan energi hanya di blok tersebut.

Dengan potensi besar gas di Natuna, maka sudah tentu harus memberi nilai tambah untuk mendukung investasi atau industri. Ini artinya, jangan lagi pemerintah ketika mengelola sumber daya alam seperti gas semata untuk menambah pundi keuangan. Namun, arahnya sudah harus diubah menjadi pemenuhan domestik.

"Tentu pemerintah harus mendorong agar tersedia teknologi untuk memaksimalkan potensi gas tersebut untuk mendorong elektrifikasi," tegas dia.

Potensi gas di dalam negeri diharapkan untuk mendukung industri, tidak lagi lebih banyak di ekspor. Kuncinya, migas bukan lagi ditempatkan untuk sumber pembiayaan pembangunan, namun diprioritaskan untuk mendukung industri dalam negeri.   

Ekonom dan peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan  UGM, Fahmi Radhi, mengemukakan dengan model wilayah kepulauan, masing-masing daerah punya potensi energi pembangkit yang berbeda-beda. Di Natuna, ada potensi gas besar yang dapat dipakai untuk sumber pembangkit.

Agar maksimal, perlu dipilih teknologi pembangkit listrik yang tidak memerlukan pengerjaan lama. Salah satu caranya, bisa dibangun mini terminal LNG agar potensi besar gas bisa terserap dengan baik. Apalagi pemerintah sedang mengembangkan program tol laut dan sektor maritim.

Model mini terminal LNG sangat cocok dikembangkan di Indonesia karena sesuai kondisi geografis negara kepulauan. Selain itu, pengembangan mini terminal LNG juga tidak butuh waktu lama. Penggunaan gas juga akan menghemat keuangan negara.

Selain mini terminal LNG, juga perlu fasilitas pembangkit terapung. "Kelebihan fasilitas terapung dapat lebih menjamin dan menjaga kelangsungan supply di saat gempa bumi/banjir sekalipun. Karena dua hal ini juga merupakan kejadian alam yang cukup akrab dengan negara kita," tegas Fahmi.  (Nrm/Zul)

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya