Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah menunjukkan pelemahan sejak sepekan terakhir dari level 13.089 menjadi 13.228 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Selasa (14/9/2016).
Sentimen negatif mewarnai pergerakan kurs mata uang Garuda, salah satunya realisasi program pengampunan pajak (tax amnesty) yang belum menggembirakan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengungkapkan, ada dua penyebab depresiasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Pertama, dari rencana kenaikan tingkat bunga acuan The Fed di akhir tahun ini.
"Sampai dengan kemarin, orang masih mengira Fed Fund Rate akan naik. Tapi mulai hari ini yakin tidak. Kalau tadinya naik, rupiah melemah," ujar dia di Gedung DPR, Jakarta, Rabu siang.
Baca Juga
Kedua, Darmin mengakui, karena pencapaian tax amnesty dari uang tebusan maupun harta yang dideklarasi dan di repatriasi belum sesuai harapan. Untuk diketahui, argo tax amnesty sampai dengan pukul 15.15 WIB menunjukkan uang tebusan terkumpul Rp 10,6 triliun atau 6,4 persen dari target Rp 165 triliun.
Sementara nilai harta yang sudah dideklarasi dan direpatriasi mencapai Rp 457 triliun. Terdiri dari deklarasi dalam negeri Rp 327 triliun, deklarasi luar negeri Rp 108 triliun dan Rp 22,7 triliun dari repatriasi. Surat Pernyataan Harta (SPH) yang masuk 57.128 SPH.
"Kedua, karena tax amnesty belum terlalu menggembirakan. Jadi dua faktor ini yang mendorong pelemahan rupiah seminggu terakhir, setelah sebelumnya menguat," papar dia.
Darmin mengaku, depresiasi pada mata uang rupiah akhir-akhir ini tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan Mantan Gubernur Bank Indonesia itu menilai, pelemahan rupiah belum membutuhkan intervensi dari otoritas moneter.
"Ini fluktuasi, jangan terlalu dihebohkan. Belum butuh intervensi dalam waktu seperti itu. Walaupun turun tidak banyak. Kalau tax amnesty berhasil dengan baik, pasti rupiah menguat," tegas Darmin. (Fik/Ahm)
Advertisement