Sri Mulyani dan Komisi XI DPR Sepakati Asumsi Makro Ekonomi 2017

Pemerintah akan berupaya dorong pertumbuhan ekonomi dari belanja pemerintah yang diharapkan tumbuh 4,8 persen.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 08 Sep 2016, 08:20 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2016, 08:20 WIB
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi dunia
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi dunia (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati dan Komisi XI DPR menyepakati beberapa asumsi makro di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017.

Salah satunya target pertumbuhan ekonomi yang diketok 5,1 persen atau lebih rendah dari proyeksi semula di Nota Keuangan sebesar 5,3 persen.

Rapat Kerja Pengambilan Keputusan Asumsi Makro RAPBN 2017 antara pemerintah dan Komisi XI berlangsung sejak pukul 20.30 sampai 23.30 WIB di Gedung DPR, Jakarta, seperti ditulis Kamis (8/9/2016).

Hasilnya disepakati mengenai target pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah, bunga SPN 3 bulan, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, gini rasio, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).  

"Semua setuju pertumbuhan ekonomi di 2017 sebesar 5,1 persen, inflasi 4 persen, kurs rupiah Rp 13.300 per dolar AS, SPN 3 bulan 5,3 persen, tingkat pengangguran 5,6 persen, kemiskinan 10,5 persen, gini rasio 0,39 dan IPM 70,1," kata Ketua Komisi XI Melchias Marcus Mekeng membacakan kesimpulan rapat.

Penetapan asumsi makro ini, khususnya pertumbuhan ekonomi sesuai dengan usulan Sri Mulyani yang memproyeksikan 5,1 persen di tahun depan. "Angka 5,1 persen target pertumbuhan ekonomi nyaman untuk kami. Kami tidak ingin mengulangi kondisi 2016, tapi kami coba hati-hati," ujar dia.

Pemerintah, sambung dia, akan tetap berupaya mengumpulkan target penerimaan pajak semaksimal mungkin. Caranya Sri Mulyani terus memantau kinerja Ditjen Pajak dalam mengejar penerimaan, dengan berkoordinasi bersama Kepala Kanwil setiap pekan.

"Ini adalah bukti keseriusan kami dengan target penerimaan pajak walaupun ada dari non pajak, seperti PNBP dan bea cukai. Kami akan kelola dengan baik supaya penerimaan lebih akurat," jelas dia.

Saat kinerja ekspor dan impor tak bisa diandalkan, Sri Mulyani mengatakan, pemerintah mengupayakan dorongan pertumbuhan ekonomi dari belanja pemerintah yang diharapkan tumbuh mencapai 4,8 persen di 2017.

"Sementara konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh sebesar 5 persen, karena dengan perubahan asumsi pertumbuhan ekonomi dari Nota Keuangan 5,3 persen menjadi 5,1 persen di tahun depan," ujar Sri.

Dari target pembangunan manusia, Sri Mulyani berpendapat, menurunkan tingkat kemiskinan menjadi 10,5 persen sesuai target RAPBN 2017 bukan merupakan hal mudah.

Lanjutnya, pemerintah akan lebih berhati-hati dalam penyaluran subsidi ke masyarakat miskin. Ia mengaku, rekam jejak pemerintah dalam menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia sangat konsisten sejak era pemerintahan Soeharto sampai saat ini.  

"Tapi kalau mau menurunkan tingkat kemiskinan, maka perlu dilakukan dengan penyaluran langsung bukan hanya dengan subsidi barang supaya lebih tepat sasaran," tegas Sri Mulyani.

Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo mendukung pengambilan keputusan mengenai asumsi makro di 2017. Sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi tahun depan diketok 5,1 persen sejalan dengan proyeksi BI di kisaran 5,1 persen-5,5 persen.

"Ada kesepakatan pertumbuhan ekonomi 5,1 persen, kurs Rp 13.300 per dolar AS, inflasi 4 persen, BI sependapat dengan itu. Walaupun lebih rendah dari 5,3 persen, tapi sejalan dengan range BI," tutur Agus.

Hanya saja ia mengingatkan kepada pemerintah untuk mengendalikan inflasi yang diperkirakan membengkak bila tarif dasar listrik golongan 900 VA naik di tahun depan.

"Kalau tarif listrik 900 VA naik, maka sumbangan inflasinya 0,88 persen di 2017, sehingga total perkiraan inflasi 4,6 persen. Jadi perlu upaya dari pemerintah untuk menekan inflasi supaya tetap sesuai target," kata Agus.

Saran Agus, pemerintah harus melihat waktu yang tepat untuk menyesuaikan tarif dasar listrik, seperti saat panen raya atau dilakukan secara bertahap apakah dua kali atau empat kali.

"Jadi jangan langsung karena khawatirnya inflasi tidak mencapai target. Apalagi dampak lainnya seperti gejolak harga pangan strategis yang harus juga dikendalikan pemerintah," tutur Agus. (Fik/Ahm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya