Liputan6.com, New York - Harga minyak naik hampir enam persen usai kabar negara produsen utama minyak (OPEC) sepakat akan membatasi produksi minyak pada pertemuan November. Ini kesepakatan pertama sejak harga minyak turun pada dua tahun lalu lantaran pasokan berlebih.
OPECÂ sepakat membatasi produksi minyak menjadi 32,5 juta barel per hari pada pertemuan International Energy Forums pada 26-28 September 2016.
Hal itu menurut sumber Reuters. Sumber itu menyebutkan OPEC akan setuju memangkas produksi minyak dalam pertemuan pada 30 November di Vienna.
Setelah mencapai target itu, OPEC juga akan melihat dukungan dari produsen minyak yang bukan anggota OPEC.
Advertisement
Baca Juga
Pada perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), harga minyak Brent naik US$ 2,72 atau 5,9 persen ke level US$ 48,69 per barel, dan sentuh level tertinggi lebih dari dua minggu di US$ 48,96. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) naik US$ 2,38 atau 5,3 persen ke level US$ 47,05 usai sentuh level US$ 47,45, tertinggi sejak 8 September.
Harga minyak reli berdampak ke bursa saham Amerika Serikat (AS). Indeks sektor saham energi naik empat persen, dan catatkan hari terbaik sejak Januari.
"Ini kesepakatan bersejarah. Untuk pertama kali OPEC dan non OPEC akan duduk bersama dan sepakat usai lebih dari 10 tahun. Seharusnya harga minyak dapat kembali ke level US$ 60," ujar Phil Flynn, Analis Price Futures Group seperti dikutip dari laman Reuters, Kamis (29/9/2016).
"Kartel membuktikan masih menjadi masalah. Ini akhir perang produksi," tambah dia.
Harga minyak telah merosot sejak sentuh level di atas US$ 100 per barel pada pertengahan 2014 imbas kenaikan produksi minyak di AS dan ditambah pasokan global dan OPEC yang berlebih.
Sedangkan pelaku pasar melihat kunci pemangkasan produksi minyak ini di tangan Arab Saudi dan Iran yang memilih melindungi pangsa pasarnya sendiri.
"Ini masih tidak pasti. Tidak ada orang yang tahu akan datang (produksi minyak dibatasi). Pasar kelihatannya tidak dalam posisi itu. Fundamental di Amerika Serikat lebih ketat dari yang diharapkan," tutur Scott Shelton, Energy Broker ICAP. (Ahm/Ndw)