BPJS Ketenagakerjaan Adopsi Model Bisnis Sharoushi Jepang

Untuk meningkatkan kepesertaan, BPJS Ketenagakerjaan mengadopsi model bisnis sharoushi Jepang.

oleh Liputan6 diperbarui 10 Okt 2016, 16:21 WIB
Diterbitkan 10 Okt 2016, 16:21 WIB
BPJS Ketenagakerjaan Adopsi Model Bisnis Sharoushi Jepang
Untuk meningkatkan kepesertaan, BPJS Ketenagakerjaan mengadopsi model bisnis sharoushi Jepang.

Liputan6.com, Yogyakarta Fokus BPJS Ketenagakerjaan (BPJSTK) dalam memberikan perlindungan kepada seluruh pekerja di Indonesia semakin ditingkatkan dengan mengaplikasikan model bisnis kemitraan yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang. Penerapan model bisnis ini diyakini akan dapat mengakselerasi peningkatan kepesertaan BPJSTK di seluruh Indonesia.

Jepang mengusung model bisnis Jimukumiai dan Sharoushi dalam mendukung akuisisi dan perluasan kepesertaan Jaminan Sosial sejak tahun 1968. Hingga kini tingkat akuisisi peserta jaminan sosial di Jepang mencapai 98%.

Sebagai salah satu alat pendorong peningkatan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia, BPJSTK menggandeng Federasi Sharoushi Jepang dan Japan International Cooperation Agency (JICA), lembaga kerjasama internasional dari Pemerintah Jepang, untuk mengadopsi model bisnis Jimikumiai dan Sharousi. Sehingga diharapkan nantinya perkembangan kepesertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Indonesia dapat menyamai Jepang.

Jimukumiai merupakan organisasi yang mempunyai perizinan dan sertifikasi untuk mengakuisisi peserta dan mengumpulkan iuran Jaminan Sosial di Jepang. Saat ini terdapat lebih dari 10 ribu Jimukumiai di seluruh penjuru Jepang.

BPJSTK mengadopsi model bisnis lembaga ini dengan nama Sentra Komunikasi Jaminan Sosial (SKJS), yang merupakan organisasi berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum yang diberikan otorisasi dan pelatihan oleh BPJSTK dan lembaga terkait seperti Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) untuk menjalankan fungsi mirip seperti Jimukumiai. Organisasi ini dapat berupa lembaga keuangan seperti perbankan, kelompok profesi asosiasi pengusaha, serikat pekerja maupun paguyuban masyarakat, lembaga adat bahkan agama.

Sementara Sharoushi adalah profesi ahli atau agen yang menjadi perpanjangan tangan dari Jimukumiai di Jepang untuk melakukan proses administrasi akuisisi kepesertaan sekaligus memberikan mediasi, advokasi dan informasi tentang program dan manfaat Jaminan Sosial dan Ketenagakerjaan. Profesi ini akan dikembangkan di Indonesia dengan nama Konsultan Jaminan Sosial (KJS) yang didukung juga dengan proses sertifikasi oleh BPJSTK dan Kemenaker.

Direktur Utama BPJSTK, Agus Susanto mengungkapkan BPJSTK selalu berusaha menggandeng kemitraan strategis dengan berbagai pihak seperti pemerintahan dan masyarakat bahkan institusi luar negeri untuk mencapai kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan secara universal.

"Termasuk juga bekerjasama dengan unsur masyarakat seperti model bisnis SKJS dan KJS yang diadopsi dari keberhasilan Sharoushi dan Jimukumiai di Jepang," ujar Agus dalam kegiatan Soft Launching Sentra Komunikasi Jaminan Sosial di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta, pada Senin (10/10). Para petinggi JICA dan President Federasi Sharoushi Jepang, Kenzo Onishi juga turut hadir dalam soft launching SKJS dan KJS ini.

Untuk meningkatkan kepesertaan, BPJS Ketenagakerjaan mengadopsi model bisnis sharoushi Jepang.

SKJS dan KJS sebagai perpanjangan tangan BPJSTK sangat relevan dikembangkan di Indonesia mengingat kondisi wilayah Indonesia yang terdiri atas kepulauan dengan sebaran pekerja yang cukup luas. SKJS dan PJS yang tersebar di seluruh Indonesia akan semakin mendekatkan akses masyarakat pekerja pada program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, khususnya pekerja Bukan Penerima Upah (BPU) yang mencapai 70,9 juta pekerja dari total potensi keseluruhan sebesar 122,3 juta pekerja.

“Pendekatan yang dilakukan SKJS dan KJS akan lebih personal dan menyasar pada komunitas-komunitas yang ada di seluruh pelosok Indonesia”, jelas Agus.

Untuk mewujudkan langkah tersebut, BPJSTK juga bersama dengan Kemenaker, Lembaga Sertifikasi Profesi, Kementerian Keuangan, DJSN dan BAPPENAS untuk mempersiapkan kapasitas yang dibutuhkan SKJS dan KJS.

“Pilot Project yang kami launching ini melibatkan sekitar tujuh kelompok masyarakat dari Jogjakarta dan Jember sebagai SKJS dan KJS. Setelah kita evaluasi selama 8 bulan, kami akan mengembangkan model bisnis ini di seluruh Indonesia sekitar pertengahan 2017," tambah Agus.

Selain untuk mendukung akuisisi kepesertaan, Profesi KJS atau Sharoushi sangat berpotensi membuka lapangan kerja baru sehingga mendukung program pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja baru di Indonesia. Di Jepang sendiri, saat ini jumlah tenaga profesi Sharoushi telah mencapai 40 ribu orang yang tersebar di penjuru Jepang.

"Kami berharap organisasi SKJS dan profesi KJS dapat berkembang pesat seperti di Jepang, untuk memperkuat daya akuisisi BPJSTK sehingga perlindungan seluruh pekerja segera terwujud. Tentunya semua ini membutuhkan dukungan berbagai pihak terkait seperti Kemenaker dan Kementrian lainnya serta JICA dan Federasi Sharoushi”, tutup Agus.

(Adv)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya