Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengeluhkan ketidakjelasan proses pengembalian pajak (restitusi) atas pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi Pemegang Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi III.
Direktur Eksekutif APBI Supriatna Suhala mengatakan, masalah tersebut berawal dari kontrak PKP2B generasi III berstatus sebagai pengusaha kena pajak (PKP) karena batu bara termasuk ke dalam barang kena pajak (BKP), sehingga wajib menyetorkan pajak kepada negara termasuk PPN.
Namun, ternyata Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan berpegang pada Undang-Undang PPN pada 2009 yang menyatakan batu bara bukan termasuk ke dalam BKP karena merupakan barang yang diambil dari sumbernya. Karena itu, kontraktor tambang merasa berhak atas restitusi PPN jika terjadi kelebihan bayar.
Baca Juga
Advertisement
"Nggak ada masalah periode itu, sampai tahun 2000, baru itu direvisi aturan pemerintah batu bara bukan barang kena pajak," kata Supriatna, di Jakarta, Rabu (23/11/2016).
Namun menurut Supriatna, dalam proses mendapatkan restitusi terdapat ketidakjelasan, Direktorat Jenderal Pajak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap setiap perusahaan. Ada yang mendapat restitusi mudah dan ada yang sulit sampai harus menempuh pengadilan pajak.
"Nah masalah perlakuannya beda. Tergantung kantor pajaknya. Ada perusahaan disuruh kantor pajak ikut pengadilan pajak. Di situ kan bisa ke kiri dan ke kanan. Bergantung penafsirannya," ungkap Supriatna.
Dia pun berharap, Kemenkeu mengeluarkan kebijakan yang menegaskan ada atau tidaknya restitusi PPN untuk perusahaan batubara pemegang PKP2B generasi III, agar terdapat kejelasan.
"Baiknya Menteri Keuangan keluarkan fatwa, apakah ini bisa restitusi atau tidak. Jadi tidak lagi hengky pengki," tutup dia. (Pew/Nrm)