Menteri Jonan: Kalau Freeport Tak Terima, Silakan ke Arbitrase

Menteri ESDM Ignasius Jonan memberikan tiga opsi kepada Freeport Indonesia untuk selesaikan masalah perubahan status.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Feb 2017, 17:30 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2017, 17:30 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan siap menghadapi gugatan PT Freeport Indonesia di Badan Arbitrase Internasional apabila rencana tersebut betul-betul direalisasikan. Pemerintah sudah memberikan opsi terbaik bagi Freeport dengan mengubah status dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Jonan mengaku memberikan tiga opsi kepada Freeport Indonesia dalam penyelesaian masalah perubahan status. Pertama, lanjut dia, Freeport harus tunduk pada ketentuan yang ada apabila tetap memegang status KK, yakni membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) sesuai amanat Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Termasuk perundingan stabilitas investasi yang ada di dalam KK.

"Opsi kedua, mengubah status menjadi IUPK. Karena sudah jelas di Pasal 170 UU Minerba bahwa semua pemegang KK wajib membangun smelter sejak UU diberlakukan. Itu artinya jatuh tempo di 2014," jelas dia di Gedung DPR Jakarta, Senin (20/2/2017).

"Akhirnya yang boleh adalah IUPK. Pakai Pasal 102 dan 103, kalau IUPK wajib (bangun smelter), tapi tidak ada batas lima tahun. Kemudian mau perpanjang investasi kita buka, boleh dilakukan lima tahun sebelumnya, dan sudah diterbitkan izin rekomendasi ekspor," tambah Jonan.

Dalam Pasal 102, disebutkan pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan atau batu bara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.

Sementara Pasal 103, mencakup (1), pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. (2) pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya.

(3), ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana di maksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Namun Freeport tetap menolak berganti status dari KK menjadi IUPK karena harus mengikuti ketentuan perpajakan yang berubah-ubah dan melepas saham (divestasi) sebanyak 51 persen.

"Saya bilang itu alternatif pertama. Kalau tidak bisa menggunakan alternatif kedua, yakni UU Minerba diubah atau diamandemen. Tapi itu butuh waktu," tegas Jonan.

Sementara opsi ketiga, Jonan mempersilakan Freeport Indonesia untuk membawa masalah ini ke Badan Arbitrase Internasional. "Kalau tidak terima ya silakan bawa ke Arbitrase," ujar doa.

Pemerintah, Ia mengakui siap menghadapi gugatan dari perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat (AS) itu karena dalam setiap perjanjian dan aturan yang dibuat sudah berlandaskan nilai maupun prinsip di dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

"Kita harus pede, ini negara berdaulat. Semua UU turunan, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri harus mengacu pada UUD 1945 atau konstitusi. Semua perjanjian di Indonesia, landasannya juga konstitusi. Kita tidak bisa bikin perjanjian yang menyimpang dari konstitusi," Jonan menerangkan.

Membawa sebuah sengketa ke jalur arbitrase merupakan hak Freeport dan pemerintah Indonesia. "Itu hak masing-masing membawa ke arbitrase. Bukan cuma Freeport lho yang bisa membawa ke arbitrase, pemerintah juga bisa," papar dia.

Namun demikian, pemerintah masih membuka pintu perundingan dengan Freeport untuk mencari jalan keluar atas permasalahan perubahan status ini. Pemerintah memberikan tenggat waktu negosiasi untuk Freeport Indonesia enam bulan sejak IUPK diterbitkan. Sementara Freeport Indonesia memberikan batas waktu 120 hari.

"Kita kasih waktu enam bulan sejak IUPK diterbitkan dengan syarat yang sama. Kalau soal 120 hari, ya terserah dia. Kan pemerintahnya saya," ujar Jonan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya