Liputan6.com, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) tidak terburu-buru menerima tawaran hibah US$ 5,5 juta atau Rp 73,1 miliar (kurs US$ 1= Rp 13.300) dari Korea Selatan. Dana tersebut rencananya akan digunakan untuk membangun Integrated Box Office System (IBOS).
“Bekraf tidak bisa menerapkan begitu saja. Harus dikaji dengan matang, harus ada feasibility study. Kalau memang tidak sesuai dan merugikan industri dalam negeri, tentu saja harus ditolak,”ujar Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang UKM dan Industri Kreatif, Erik Hidayat dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (21/3/2017).
Rencana pembuatan IBOS memang memunculkan kontroversi. Sebab, dengan sistem tersebut maka industri bioskop wajib membuka semua data secara terbuka. Di antaranya, data mengenai jadwal penayangan film, hingga jumlah penonton per judul film.
Advertisement
Itulah sebabnya, lanjut Erik, kajian tersebut sangat penting. Di antaranya, untuk mengetahui apakah sistem tersebut bisa diterapkan di Indonesia atau tidak. Sebab selayaknya sistem, maka harus bisa membuat semua kalangan merasa nyaman. Kalau ada pihak-pihak yang menolak, sebaiknya pemerintah pun menolak sistem tersebut.
Selain itu, menurut dia penerapan IBOS yang hanya dilakukan di Korea Selatan pun, harus menjadi pertimbangan.
Baca Juga
“Saya sudah melakukan riset tentang IBOS. Saya cari, ternyata hanya Korea Selatan yang menerapkan. AS tidak, Singapura juga tidak. Kalau hanya Korea Selatan, sedangkan negara-negara maju di bidang perfilman tidak menerapkan IBOS, untuk apa Indonesia menerapkan?” kata dia.
Begitu pula dengan urgensi transparansi data melalui IBOS. Erik menyatakan, selama ini bioskop sudah memberikan berbagai data kepada menteri terkait sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Begitu pula dengan pelaporan pajak, pihak bioskop pasti sudah melakukan sesuai dengan sistem yang ada.
Sebagai produser film, Erik mengaku dirinya terkadang mengecek kesesuaian data antara yang disampaikan industri bioskop dan kondisi di lapangan. Dan hasilnya, memang sangat sesuai, tidak ada angka yang berbeda.
“Jadi memang tidak ada yang ditutup-tutupi oleh pihak bioskop. Mereka sudah melaporkan sesuai aturan. Jadi untuk apa Korea meminta data? Kalau semua data diberikan kepada pihak asing, saya juga ngeri, karena bisa jadi ada data yang tidak seharusnya diberikan,” ungkap dia.
Di sisi lain Erik justru mempertanyakan, mengapa Korea justru memberikan hibah. Sebab, yang dibutuhkan saat ini adalah investasi, terlebih ketika pemerintah mencabut Daftar Negatif Investasi (DNI) untuk bioskop.
Indonesia, kata dia, saat ini masih membutuhkan investasi. Terlebih kondisi saat ini, ketika jumlah potensi penonton masih sangat banyak sedangkan di sisi lain jumlah layar masih terbatas.
“Mengapa harus hibah? Yang harusnya dilakukan pemerintah adalah memberikan comfort kepada investor, apalagi dengan dibukanya DNI. Dan investasi tersebut, sebaiknya dari hulu, seperti pendidikan, sekolah film, dan sebagainya,” ungkap dia.