Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan terhitung sudah dua kali menunda aturan kewajiban perbankan melaporkan data atau informasi kartu kredit nasabah. Kebijakan tersebut terbukti memicu kegaduhan, bahkan sampai penurunan transaksi kartu kredit karena takut diintip Ditjen Pajak.
Apakah Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati akan membatalkan kebijakan tersebut yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 39/PMK.03/2016 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2013 Tentang Rincian Data Dan Informasi Yang Berkaitan Dengan Perpajakan?
Sri Mulyani mengungkapkan, pemerintah selalu mengelola perekonomian nasional dengan prinsip kehati-hatian. Ditjen Pajak dalam setiap pengumpulan informasi perpajakan diminta hati-hati tanpa membuat kepanikan di masyarakat.
Advertisement
"Kalau PMK ini berdasarkan feedback lebih banyak menimbulkan reaksi negatif, yang mungkin informasi tidak didapat, lalu orang tidak melakukan kegiatan (transaksi belanja) dan malah khawatir, kita akan lakukan evaluasi serius," tegasnya di Jakarta, seperti ditulis Minggu (2/4/2017).
Ditjen Pajak dalam mengumpulkan informasi maupun menarik penerimaan pajak dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. "Jadi sebetulnya tidak perlu mengemis juga untuk mencari informasi," ujar Sri Mulyani.
Baca Juga
Lebih jauh katanya, Ditjen Pajak akan melakukan penegakkan hukum kepada Wajib Pajak yang tidak patuh membayar pajak sesuai Undang-undang (UU) yang berlaku. Akan tetapi, pihaknya akan menggunakan cara-cara yang baik dan beretika.
"Tidak perlu khawatir berlebihan. Kalau ada fiskus mengintimidasi, mengancam, memeras, sampaikan ke kita. Ini adalah bagian dari janji kita menciptakan reformasi, menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, membuat masyarakat tenang, dan tetap melakukan kegiatan. Tidak mendapatkan informasi jangan menjadi alasan, kita tidak bekerja," tegas Sri Mulyani.
Untuk diketahui, Ditjen Pajak pertama kali menunda intip data kartu kredit nasabah perbankan pada Juli 2016. Saat itu ditunda pelaksanaannya sampai dengan berakhirnya periode pengampunan pajak. Kemudian penundaaan kedua di Maret ini, ketika detik-detik tax amnesty berakhir.
Direktur Jenderal Pajak, Ken Dwijugiasteadi pernah mengungkapkan, Ditjen Pajak belum akan meminta data transaksi kartu kredit ke bank. Akan tetapi akan fokus pada pengumpulan data harta dalam rangka implementasi Pasal 18 Undang-undang (UU) Pengampunan Pajak.
"Surat mengenai kartu kredit sudah ditunda dan tidak akan kami mintakan lagi kepada para bank. Surat saya sudah keluarkan ke bank soal penundaan ini S106 tertanggal 31 Maret 2017 mengenai kartu kredit," kata Ken.
Pengguna kartu kredit dikategorikan nasabah peminjam atau berutang. Sementara utang, katanya, bukan penghasilan sehingga Ditjen Pajak tidak akan melakukan penggunaan data itu untuk intensifikasi pajak.
Sebagai contoh, Ken mengatakan, nasabah bank yang belanja menggunakan kartu kredit sebesar Rp 1 juta di hari ini, belum tentu penghasilannya Rp 1 juta. Mungkin saja pendapatan nasabah tersebut Rp 500 ribu, sehingga Rp 500 ribu sisanya merupakan cicilan kartu kredit.
"Orang yang belanja pakai kartu kredit sudah kena PPN. Mereka prinsipnya utang, dan utang bukan penghasilan. Jadi saya minta masyarakat belanja pakai kartu kredit tanpa takut atau resah, karena tidak akan minta data kartu kredit karena bukan mencerminkan potensi sebenarnya terhadap penghasilan," jelas Ken. (Fik/Gdn)