Ada Harga Eceran Tertinggi, Pabrik Gula Diminta Lebih Efisien

Kebijakan HET ini seharusnya menjadi tantangan bagi industri gula agar bisa melakukan efisiensi pabrik.

oleh Septian Deny diperbarui 18 Mei 2017, 19:38 WIB
Diterbitkan 18 Mei 2017, 19:38 WIB
Banner Infografis Gula
Produksi gula selalu kurang, impor berdatangan, dan pabrik lokal tutup? (liputan6.com/Trie yas)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerapkan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk sejumlah komoditas pangan, salah satunya gula pasir. HET bertujuan mengendalikan dan menjaga stabilitas harga pangan khususnya pada momen-momen tertentu seperti Ramadan dan Lebaran.

Pengamat Ekonomi IPB Hermanto Siregar mengatakan,‎ meskipun penerapan kebijakan HET ini mendapatkan respon negatif dari para produsen dan pabrik gula, namun hal tersebut bukan menjadi kendala dari penerapan kebijakan ini.

Menurut dia,‎ justru para produsen dan para pengusaha pabrik gula ini yang seharusnya melakukan evaluasi kinerja produksinya dan melakukan efisiensi. Sebab selama ini memang perlu ada peningkatan bagi efektifitas dan efisiensi pada pabrik gula.

"Saya kira, pemerintah harus mempertahankan kebijakan HET ini. Bagaimana industri kita mau punya daya saing kalau dengan HET saja mengeluh. Artinya kalau negara lain bisa dengan biaya produksi yang lebih murah, kita mestinya berupaya ke arah itu bukan malah meminta HET nya dinaikin," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (18/5/2017).

Hermanto menyatakan, kebijakan HET ini seharusnya menjadi tantangan bagi industri gula agar bisa melakukan efisiensi pabrik. Efisiensi tersebut tidak hanya dilakukan pada pabrik gula tetapi juga kepada para petani tebu.

"Karena, kalau tidak ada upaya peningkatan efisiensi di dua aspek baik di budidaya maupun perusahaan gulanya. Maka biaya persatuannya tetap tinggi, jadi mereka pasti minta HET dikurangi," dia menjelaskan.

Dengan langkah efisiensi secara menyeluruh, diharapkan bisa meningkatkan produktifitas rendemen tebu di dalam negeri.‎ "Efisiensi yang meningkat itu, rendemen gula itu bisa dinaikkan lagi. Masih ada lah space dan ruangan untuk melakukan hal tersebut," lanjut dia.

Selain itu menurut Hermanto, jika petani tebu memiliki produktivitas yang tinggi, maka industri juga akan meningkatkan produksi di pabrik gula.

"Jadi misalnya, bisa menghasilkan tebu dengan produktivitas yang tinggi. Maka, si petani mendapatkan bayaran yang bagus. Sedangkan si pabrik kalau rendemennya tinggi jadi gula, maka produktivitasnya tinggi," tandas dia.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sebelumnya mengatakan, HET merupakan kesepakatan antara pemerintah dengan para pengusaha. Dia menyebut, HET gula, yakni Rp 12.500 per kg, minyak goreng Rp 11 ribu, dan daging beku Rp 80 ribu per kg.

"Kami membuat kesepakatan yang dituangkan melalui HET, yaitu gula mau merek dan jenis apa pun maksimal Rp 12.500 di seluruh pasar ritel modern. Kedua minyak goreng kemasan sederhana karena pasar ritel modern tidak bisa dengan curah Rp 11 ribu, minyak goreng curah Rp 10.500 dan ketiga daging beku maksimal Rp 80 ribu per kg," kata dia di Pasar Cipinang Jakarta, Kamis (13/4/2017).

Dia meyakini, kebijakan ini akan membuat harga kebutuhan pangan di pasaran akan turun. Lantaran, harga komoditas mengikuti harga yang ada di ritel modern. "Kenapa masuk ke ritel modern, dan kemarin kita lakukan peninjauan karena mereka price leader," ujar dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya