Liputan6.com, Jakarta Dalam delapan tahun terakhir, hampir tidak ada pengembang swasta yang memasok rumah susun sederhana milik (Rusunami) di Jabodetabek, meski kebutuhan hunian murah terjangkau cukup tinggi. Beberapa hambatan menjadi penyebab keengganan pengembang swasta membangun hunian vertikal khusus untuk MBR tersebut. Apa saja?
Hambatan utama adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rusunami sebesar 10 persen tidak ditanggung pemerintah, seperti halnya untuk rumah tapak sederhana. Hal itu menjadi masalah karena menambah biaya pembangunan, padahal di sisi lain, harga jual rusunami harus mengikuti batasan harga (plafon) dari pemerintah.
Baca Juga
Hambatan lain karena harga rusunami tidak diperbarui setiap tahun, juga kondisi yang berbeda dengan rumah tapak sederhana yang harganya setiap tahun otomatis naik. Padahal jelas sekali kalau biaya membangun rusunami lebih mahal dan waktu pembangunannya lebih lama dibanding rumah tapak. Rumah tapak hanya sekitar empat bulan, sementara rumah susun bisa memakan waktu dua tahun pembangunan.
Advertisement
“Oleh karena membangun rusunami itu lebih lama, maka interest during construction (IDC) seharusnya diperhitungkan oleh pemerintah,” kata Direktur Utama Synthesis Development, Budi Yanto Lusli yang ditulis Liputan6.com, Selasa (18/7/2017).
Hal lain yang masih menahan keinginan pengembang membangun rusunami, tambah Budi Yanto, adalah adanya aturan akad kredit yang baru bisa dilakukan setelah serah terima unit yaitu selama dua tahun. Aturan ini mengganggu cash flow pengembang, karena selama dua tahun juga tidak ada pemasukan untuk pengembang.
Ketentuan mengenai lahan parkir turut menambah rumit pembangunan rusunami. Menurut Budi, sebagai rumah subsidi rusunami dianjurkan tidak memiliki lahan parkir yang luas, karena penghuninya MBR yang lebih mengandalkan transportasi publik. Namun, di banyak daerah setiap hunian vertikal justru diwajibkan menyediakan ruang parkir dengan rasio perbandingan beragam. Di Jakarta misalnya 1:10, dan di Tangerang 1:5.
Lebih Efisien
Kendala pun dirasakan pengembang pelat merah, Perum Perumnas. Menurut Direktur Pemasaran Perum Perumnas, Muhammad Nawir, seharusnya di kota-kota besar yang kemacetan lalu lintas sudah sangat parah, pemerintah daerah perlu mendorong pembangunan hunian ke arah vertikal.
“Memang harusnya dibangun secara vertikal, enggak ada solusi lain. Namun, masalah ketentuan harga khususnya untuk rusunami pemerintah harus lebih dulu sepakat mengenai kelayakan dan keterjangkauan harganya,” ujar Nawir.
Namun akibat hambatan yang cukup banyak, tambah Nawir, sejak 2011 sedikit sekali pengembang yang mau membangun rusunami. Seharusnya, dengan banyaknya kemudahan di sektor properti pengembang lebih banyak membangun rusunami. Namun kenyataannya, kemudahan di sektor properti yang berlaku untuk rumah tapak masih belum dirasakan dalam membangun rusunami.
“Kemudahan dalam pembangunan rumah tapak sudah relatif lebih cepat. Namun untuk vertikal masih sulit apalagi jika di daerah,” jelas Nawir.
Menurut dia, daerah masih lambat mengimplementasi kebijakan yang dilakukan oleh pusat yang tertuang dalam Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) XIII dan tindak lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Nawir dan juga pengembang lain sangat berharap di pemerintah daerah mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan Peraturan Daerah (Perda), karena tiap daerah biasanya memiliki perda sendiri dalam mengatur proses perizinan. Terutama dalam hal waktu, kalau bisa dipercepat karena pengembang butuh kepastian dalam membangun dan masyarakat membutuhkan rumah.
Dia pun menyoroti mengenai bantuan uang muka untuk pembelian rusunami yang belum sebaik rumah tapak. Jika rumah tapak sederhana bisa mendapatkan bantuan uang muka dari Bapertarum PNS dan BPJS Ketenagakerjaan, maka rusunami belum bisa memperoleh fasilitas tersebut.
Oleh karena itu, dia mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan perhatian besar terhadap pembangunan rusunami terlebih di kota-kota.
Perumnas saat ini sedang mengembangkan proyek rusunami di Bandar Kemayoran, Bekasi, Karawang, dan Cengkareng. Selain membangun apartemen murah yang mengusung konsep transit oriented development (TOD) di tiga stasiun kereta, yaitu di Stasiun Bogor, Tanjung Barat, dan Pondok Cina.