Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia diingatkan agar tidak terbuai ‎dengan kepatuhan PT Freeport Indonesia, yang sudah bersedia melepas sahamnya (divestasi) sebesar 51 persen.
Direktur Center for Indonesia Resources Strateic Studies (Cirruss) Budi Santoso mengatakan, meski Freeport sudah ingin melepas saham sesuai keingingan pemerintah, tetapi perlu kembali diwaspadai terkait kepentingan nasional.
"Pemerintah jangan sampai terjebak oleh porsi 51 persen, tetapi benefit masalah kompetensi nasional dan supply kebutuhan nasional juga terlindungi," kata Budi, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Kamis (31/9/2017).
Advertisement
Baca Juga
‎Budi mengungkapkan, pemerintah harus menyusun strategi dalam menentukan harga dan cara menghitungnya. Selain itu juga perlu ada perhitungan terkait pengelolaan tambang di Papua ke depan.
"Sekarang mendetailkan masalah divestasi dengan harga berapa dan bagaimana menghitungnya. Bagaimana pengelolaan Freeport ke depan, dan bagaimana smelter tersebut," ucap dia.
Budi menuturkan, pemerintah patut mendapat apresiasi, atas disepakatinya empat poin yang merupakan hasil dari negosiasi perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).‎ Empat poin tersebut adalah, divestasi saham Freeport 51 persen, membangun fasilitas pengelolahan dan pemurnian mineral (smelter), stabilitas investasi, dan perpanjangan masa operasi 2X10 tahun.
‎"Mengacu kepada pernyataan pak Jonan kemajuan yang patut diapresiasi. Terlepas dari detail dari kesepakatan di atas. Para pihak dapat menemukan titik temu yang krusial," ujar dia.
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:
Kesepakatan Freeport dan Pemerintah RI
Sebelumnya PT Freeport Indonesia akhirnya mengikuti keinginan pemerintah Indonesia. Perusahaan ini menyepakati empat poin negosiasi seiring perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyebutkan, poin yang menjadi kesepakatan terkait pelepasan saham (divestasi) dengan total sebesar 51 persen kepada pihak nasional. Hal ini sesuai dengan keinginan pemerintah. Untuk detail mekanisme pelepasan saham dan waktunya, akan dibahas lebih lanjut dalam pekan ini.
"Pertama itu mandat Bapak Presiden bisa diterima Freeport, divestasi yang dilakukan Freeport 51 persen total," kata Jonan, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa 29 Agustus 2017.
Poin kedua, kata Jonan, berkaitan dengan pembangunan fasilitas pengelolaan dan pemurnian mineral (smelter) harus dilakukan dalam lima tahun, sejak IUPK terbit. Targetnya pembangunan smelter rampung pada Januari 2022.
Menurut Jonan, Freeport juga telah sepakat memberikan Indonesia bagian lebih besar ketika sudah menyandang status IUPK, dibanding‎ saat bersatatus KK. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, tentang pertambangan mineral dan batu bara (minerba).
Selain itu, kedua belah menyetujui masa operasi Freeport diperpanjang 2x10 tahun, usai habisnya masa kontrak ‎pada 2021. Dengan begitu, Freeport bisa mengajukan perpajangan masa operasi untuk masa pertama sampai 2031. Itu jika memenuhi persyaratan diperpanjang kembali sampai 2041.
‎
"Ada perpanjangan masa operasi masimum 2x10 tahun sampai 2031 dan 2041, perpanjangan pertama bisa langsung diajukan," tutur Jonan.
CEO Freeport McMoran Richard Adkerson pun angkat bicara mengenai selesainya negosiasi dengan Pemerintah Indonesia, atas disetujuinya empat poin ‎yang dirundingkan tersebut.
Richard Adkerson mengungkapkan, Freeport memiliki rencana menambah investasi di Indonesia sebesar US$ 20 miliar. Dana tersebut sebagian besar dianggarkan untuk pengembangan tambang bawah tanah.
"Ini akan memberikan ribuan pekerjaan, keuntungan sosial dan finansial yang masif," kata Adkerson.
Adkerson menuturkan, untuk merealisasikan keinginan tersebut, perusahaan asal Amerika Serikat ini menyetujui poin negosiasi yang ditetapkan pemerintah, di antaranya pelepasan saham (divestasi) ke pihak nasional menjadi sebesar 51 persen, serta membangun fasilitas pengelolaan dan pemurnian mineral (smelter).
Advertisement