Bos Bukalapak Keberatan Sri Mulyani Tarik Pajak Bisnis Online

Pemerintah harus betul-betul bijak dalam menerapkan aturan pajak bisnis online.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 12 Okt 2017, 13:30 WIB
Diterbitkan 12 Okt 2017, 13:30 WIB
Jakarta International Summit & Expo (JILSE) Forum 2017. (Fiki/Liputan6.com)
Jakarta International Summit & Expo (JILSE) Forum 2017. (Fiki/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan akan segera merilis aturan pajak bisnis online (e-commerce) dalam pekan ini atau pekan depan. Unit Eselon I Kementerian Keuangan tersebut menjanjikan tidak akan ada subjek maupun objek pajak baru, dan hanya mengatur tata cara pemungutan pajak.

Menanggapi rencana tersebut, Co-Founder dan CFO Bukalapak, M Fajrin Rasyid pesimistis aturan pajak bisnis online bakal keluar dalam waktu dekat. Pasalnya, seluruh pelaku usaha e-commerce kompak mengajukan keberatan dengan alasan kesetaraan.

"Hari ini tim saya lagi di kantor Ditjen Pajak untuk membicarakan aturan itu. Mungkin akan diundur karena banyak yang keberatan dengan alasan kesetaraan atau equal treatment. Ini sudah disampaikan oleh saya dan hampir semua pelaku e-commerce pendapatnya sama," ujar Fajrin saat ditemui di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (12/10/2017).

Dia menilai, penjualan paling besar bukan melalui platform e-commerce, melainkan berdagang di sosial media (sosmed), seperti Facebook dan Instagram. Penjualan melalui sosmed ini dianggap mengancam pelaku bisnis online.

"Jualan paling besar bukan di Bukalapak dan e-commerce lain, tapi jualan di Instagram dan Facebook. Sayangnya transaksi jualan di sosmed tidak terjangkau oleh aturan pajak, sehingga ini yang dikhawatirkan pemain dan asosiasi e-commerce. Itu bisa mengancam," jelasnya.

Lebih jauh kata Fajrin, jika aturan pajak diterapkan pada bisnis online dan terlalu mengekang gerak e-commerce, akan membuat orang lebih memilih berjualan di Instagram dan Facebook ketimbang platfom e-commerce.

"Kalau aturan pajak mengekang platform e-commerce, jualan di Bukalapak ribet pajak, orang-orang jadi exodus, mending jualan di Instagram dan Facebook saja yang tidak terkontrol dan tidak terkejar pajaknya karena transaksi melalui jalan belakang," ujarnya.

Dia berpendapat, bukan hanya pelaku usaha e-commerce yang dirugikan, tapi juga pemerintah karena tidak ada setoran pajak dari transaksi jualan di sosmed, grup chatting.

"Jadi ada potensi ketidakadilan, tidak equal treatment karena transaksi belakang tadi merugikan pemerintah," Fajrin menerangkan.

Harapan Fajrin hanya satu, pemerintah harus betul-betul bijak dalam menerapkan aturan pajak bisnis online. Alasannya, tenant di Bukalapak berbagai macam kalangan, mulai dari individu, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), sampai badan usaha.

Selama ini, diakuinya, pelaporan pajak oleh tenant bersifat self assessment. Dia meyakini, banyak penjual di Bukalapak yang sudah menunaikan kewajibannya membayar pajak.

"Penjual kan macam-macam, ada perusahaan yang sudah PKP, ada UMKM dan individu yang baru mulai berjualan dengan omzet kecil. Jadi tidak bisa disamaratakan, misalnya menyamaratakan semua penjual di Bukalapak harus langsung di pungut PPN, tidak mungkin. Karena UMKM yang omzet kecil kan tidak wajib PPN," paparnya.

"Jadi saya berharap kalaupun keluar aturan pajak ini, semoga benar-benar bijak lah," harap Fajrin.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya