Pengusaha Harus Kreatif Kembangkan Produk Sawit

Upaya mempertahankan kepemimpinan Indonesia di pasar sawit dunia, dapat dilakukan dengan memperluas pasar dan membangun kerja sama.

oleh Azwar Anas diperbarui 02 Nov 2017, 15:30 WIB
Diterbitkan 02 Nov 2017, 15:30 WIB
Ilustrasi Perkebunan Sawit
Ilustrasi Perkebunan Sawit (iStockphoto)​

Liputan6.com, Jakarta - Resolusi sawit yang dikeluarkan Uni Eropa menghambat kegiatan ekspor bagi negara-negara penghasil sawit, khususnya Indonesia. Dalam resolusi itu, negara-negara yang semula mengimpor sawit dari Indonesia mulai menahan diri. Resolusi itu harus dipandang sebagai masalah serius pemerintah maupun pelaku usaha sawit.

Konsultan proyek pemerintah dalam kaitannya dengan perlindungan sosial dan pengembangan ekonomi, Dinna Wisnu, menilai, para pelaku usaha sawit harus mulai berpikir kreatif untuk memasarkan sawit.

Agar bisa tetap menembus pasar internasional, sawit tidak hanya dikemas sebagai komoditas seperti minyak nabati, tetapi merambah ke dunia lifestyle.

Dalam kunjungan ke IPOC 2017 di Bali Nusa Dua, Kamis, 2 Oktober 2017, Dinna mengumpamakan cara pemasaran jitu negara Australia. Negara dengan penghasil utama wol itu bisa memasukkan wol ke dalam tren dunia manapun. Padahal, pemakaian wol sangat terkendala pada cuaca.

"Di negara-negara yang tak punya musim dingin, siapa yang mau pakai wol?" kata Dinna, Bali, Kamis (2/11/2017).

Namun, dengan kejelian pelaku usaha, wol mampu bertahan di tren dunia saat ini. Wol tidak hanya menjadi komoditas dan bahan dasar utama fashion. "Misalnya ada motif pakaian yang menggunakan wol. Yang penting ada wolnya dan itu menjadi tren," ujarnya.

Selama ini, sawit di Indonesia hanya diolah menjadi minyak nabati. Padahal, negara lain juga sedang sibuk mengembangkan minyak nabati non-sawit. Oleh karena itu, jika ingin bertahan di pasar global, pelaku usaha sawit harus mulai mengemas sawit dengan kreatif.

“Misalnya dengan menjadikannya snack, permen, kosmetik, dan sebagainya,” Dinna menjelaskan. Tetapi, ia menilai, kurangnya ekspor sawit tidak hanya dibebankan kepada pelaku usaha, tetapi juga pemerintah.

Dalam hal ini, pemerintah Indonesia kurang mampu meyakinkan negara-negara khususnya dunia ketiga untuk bekerja sama. “Kita belum mencoba untuk merangkul perusahaan di negara lain,” tegas Dinna.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Peluang

Di kondisi ekonomi dunia yang sedang lesu, Dinna menilai wajar jika ekspor sawit menurun. Namun, hal itu tidak dapat dibiarkan, justru Indonesia harus menjadikan hal itu menjadi peluang.

Caranya dengan menerapkan pola share jobs dengan merangkul perusahaan-perusahaan di negara lain. Share jobs dinilai sangat ampuh untuk membobol negara-negara yang protektif terhadap produk dari luar.

“Kalau kita tidak bisa menjual produk akhir, kita bisa bagi hasil. Kalau di negeri sendiri kan mentok di produk akhir,” tegasnya.

Sementara itu, Joko Supriyono Ketua Umum GAPKI, dalam rangka penguatan daya saing industri sawit nasional, mengajukan tiga usulan mewakili pelaku industri kepada pemerintah.

Pertama, upaya mempertahankan kepemimpinan Indonesia di pasar sawit dunia, dapat dilakukan dengan memperluas pasar dan membangun kerja sama dengan negara lain termasuk pasar baru.

Kedua, pemerintah dapat memperkuat daya saing dengan memperbaiki iklim investasi dan menjamin kepastian usaha. Salah satunya dengan mengkaji ulang regulasi yang sifatnya mengganggu investasi.

Ketiga, penguatan sertifikat ISPO dari aspek kelembagaan dan dukungam pemerintah. “Penguatan ISPO akan membuat standar ini lebih kredibel dan diakui dunia,” ujar Joko.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya