Sudah Diampuni Pajaknya, tapi Masih Banyak WP Sembunyikan Harta

Total deklarasi aset atau harta mencapai Rp 4.881 triliun pada program pengampunan pajak atau tax amnesty.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 24 Nov 2017, 10:31 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2017, 10:31 WIB
20160930-Tax-Amnesty-Jakarta-AY
Sejumlah orang menunggu untuk mengikuti program tax amnesty di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat (30/9). Hari terakhir ‎program tax amnesty banyak masyarakat memadati kantor pajak. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Manado - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengaku masih banyak para peserta program pengampunan pajak (tax amnesty) pada tahun lalu yang belum melaporkan seluruh harta kekayaannya di dalam Surat Pernyataan Harta (SPH). Kondisi ini yang menjadi salah satu pendorong lahirnya aturan pembebasan sanksi 200 persen.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (Humas) Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama mengungkapkan, ada 972.530 Wajib Pajak (WP) yang sudah ikut program tax amnesty sepanjang Juli-Maret 2017.

Total deklarasi aset atau harta mencapai Rp 4.881 triliun, terdiri dari Rp 1.036 triliun deklarasi harta di luar negeri, dalam negeri senilai Rp 3.698 triliun, dan repatriasi sebesar Rp 147 triliun dalam sembilan bulan periode tax amnesty.

"Memang banyak WP yang ikut tax amnesty belum semua lapor hartanya. Datanya baru melaporkan 60 persen dari seluruh hartanya," tegas Hestu Yoga saat acara Media Gathering di Manado, Sulawesi Utara, Jumat (24/11/2017).

Atas dasar itulah, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 165/PMK.03/2017 tentang Perubahan Kedua Atas PMK Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Salah satu poinnya mengatur mengenai penghapusan sanksi 200 persen apabila WP yang sudah ikut tax amnesty untuk kembali mendeklarasikan seluruh hartanya di SPT Masa PPh Final.

WP hanya dikenakan tarif PPh normal sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017, yaitu untuk WP Orang Pribadi dipungut PPh Final 30 persen, WP Badan Usaha 25 persen, dan WP tertentu sebesar 12,5 persen.

PP ini mengatur Pajak Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan, sepanjang Ditjen Pajak belum melakukan pemeriksaan.

"Kami berharap mereka bisa memanfaatkan kesempatan ini, melaporkan harta secara sukarela di SPT Masa PPh sebelum harta ditemukan dan diterbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2), akan bebas dari sanksi 200 persen. Hanya bayar tarif normal PPh," Hestu Yoga mengimbau.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Singapura Ogah Tukar Data

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) optimistis Indonesia akan lulus penilaian atas syarat peraturan, serta keamanan dan perlindungan data dalam menyongsong implementasi pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) di September 2018. Oleh karena itu, hal tersebut tidak seharusnya jadi alasan bagi Singapura.

Pernyataan ini menjawab kabar yang menyebut Singapura menolak bertukar data keuangan dengan Indonesia jika Indonesia belum menyelesaikan syarat keamanan dan perlindungan data.

Kepala Subdit Direktorat Perpajakan Internasional Ditjen Pajak, Leli Listianawati menegaskan, Indonesia sudah menyelesaikan rekomendasi menyangkut keamanan dan perlindungan data (confidentiality and data safeguard) yang disyaratkan tim penilai Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes.

"Kita sudah menyelesaikan hard rekomendasi dari asesor, dan melaporkan rekomendasi yang disyaratkan ke Global Forum. Kita juga sudah menyelesaikan sistem teknologi informasi di September ini," tegasnya saat acara Media Gathering di Manado, Sulawesi Utara, Kamis (23/11/2017).

Dari hasil penilaian sementara, kata Leli, keamanan dan perlindungan data Indonesia sudah sesuai standar internasional dan memenuhi confidentiality and data safeguard.

"Jadi tidak ada alasan lagi bagi Singapura untuk tidak melakukan pertukaran informasi keuangan dengan Indonesia. Karena Indonesia sudah dinyatakan lolos soal ini," dia mengatakan.

Leli lebih jauh menerangkan, tahap selanjutnya, syarat keamanan dan perlindungan data Indonesia akan kembali dinilai saat AEoI Working Group di San Marino, Italia pada 13-15 Desember 2017. Penilaian berikutnya di acara itu berasal dari negara-negara peer.

"Itu pendapatnya asesor. Nanti di AEoI Working Group yang nilai negara-negara peer untuk keamanan dan perlindungan data oleh Indonesia. Tapi saya yakin, Indonesia akan lolos karena kita sudah mengikuti standar internasional," jelas dia.

Penilaian syarat keamanan dan perlidungan data dalam rangka AEoI di San Marino bulan depan, sambung Leli, akan diikuti dengan penilaian dari sisi aturan atau legalisasi. Pemerintah sudah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2017 sebagai legislasi primer, dan legislasi sekunder terdiri dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2017 dan PMK 73 Tahun 2017.

"Jadi nanti di San Marino ada dua penilaian, yaitu legal assessment, serta confidentiality and data safeguard. Untuk legislasi primer punya UU 9/2017 yang sudah sesuai Common Reporting Standard (CRS)," ujarnya.

"Sementara untuk PMK ada rekomendasi sedikit dari asesor. Kita bisa perbaiki karena kan tidak signifikan. Keputusannya di San Marino," paparnya.

Leli optimistis, Indonesia akan lulus dua penilaian syarat penerapan AEoI pada September 2018. "Saya yakin dua assessment ini kita lolos dan akan bertukar data di September 2018. Kalau tidak lolos, maka kita bisa nonresiprokal, kita berikan data, tapi tidak menerima data. Ini yang menjadi penting," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya