Liputan6.com, Jakarta - Neraca perdagangan Indonesia kembali defisit di Februari 2018. Pada Februari 2018, defisit neraca perdagangan tercatat sebesar US$ 0,12 miliar.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, hal tersebut menjadi ketiga kalinya secara beruntun neraca perdagangan defisit. Sebelumnya pada Desember defisit US$ 0,27 miliar dan Januari juga defisit US$ 0,68 miliar.
Dia menuturkan, defisit dalam tiga bulan berturut-turut ini harus menjadi perhatian pemerintah. Sebab, terjadi anomali di mana pada Desember 2016 serta Januari dan Februari 2017 neraca perdagangan Indonesia mengalami suplus masing-masing sebesar US$ 990 juta, US$ 1,4 miliar dan US$ 1,2 miliar.
Advertisement
Baca Juga
"Ini harus jadi perhatian karena tiga bulan berturut-turut neraca perdagangan kita defisit dari Desember 2017. Ini perlu jadi perhatian kita semua. ‎Tentu menjadi warning bagi kita," ujar dia di Kantor BPS, Jakarta, Kamis (15/3/2018).
Selain itu, lanjut Suhariyanto, bila berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, potensi defisit juga masih akan terjadi pada sejumlah bulan di tahun ini, khususnya saat perayaan hari raya keagamaan seperti Idul Fitri.
"Sebenarnya kalau berkiblat tahun lalu. Defisit kita terjadi pada bulan Juli dan Desember. Kalau Juli, itu sebenarnya karena Lebaran sehingga ada kenaikan impor barang konsumsi," kata dia.
Â
Â
Selanjutnya
Namun demikian, Suhariyanto berharap pada Maret 2018, neraca perdagangan akan surplus. Pada Maret tahun lalu, neraca perdagangan surplus sebesar US$ 1,4 miliar.
‎"Saya berharap surplus. Tentunya kalau kita lihat Januari-Februari agak terkoreksi ke bawah tetapi kita masih lihat bulan Maret. Mudah-mudahan Maret surplusnya masih bisa mengkompensasi," ungkap dia.
Selain itu, jika terus dibiarkan, lanjut Suhariyanto, defisit ini juga akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, pemerintah harus terus mendorong pertumbuhan ekspor, terutama dengan membuka pasar-pasar baru di negara nontradisional.
"Kalau bicara share dari ekspor ke pertumbuhan ekonomi sekitar 21 persen, impor sekitar 19,5 persen-20 persen. Jadi yang paling penting untuk memacu ke sana karena ekspornya pengaruh pendorong dan impornya faktor pengurang jadi minus. Harusnya yang paling bagus ekspor tinggi dan surplus tinggi. Itu baru akan berpengaruh besar kepada pertumbuhan ekonomi," Â ujar dia.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Advertisement