Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunda pemberlakukan kewajiban pencantuman Nomor Induk ‎Kependudukan (NIK) dalam faktur pajak (e-faktur) bagi pembeli orang pribadi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (‎NPWP).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, Hestu Yoga Saksama mengatakan, sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2017 seharusnya kewajiban tersebut berlaku mulai 1 April 2018, dengan pertimbangan perlunya kesiapan infrastruktur dan memperhatikan kesiapan Pengusaha Kena Pajak.
"Penundaan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2018 tanggal 29 Maret 2018 tersebut, berlaku sampai dengan batas waktu yang akan ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (30/3/2018).
Advertisement
‎Menurut dia, penundaan ini merupakan wujud nyata bahwa pemerintah, dalam hal ini DJP untuk senantiasa mendengarkan masukan masyarakat dan konsisten dalam menjaga situasi yang ‎kondusif bagi dunia usaha.
Masyarakat/Wajib Pajak yang membutuhkan informasi lebih lanjut mengenai perpajakan dan berbagai program serta layanan yang disediakan Direktorat Jenderal Pajak dapat mengunjungi www.pajak.go.id atau menghubungi Kring Pajak di 1500 200.
DJP Nonaktifkan 1.049 WP Terindikasi Penerbit Faktur Ilegal
Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) telah menonaktifkan Sertifikat Elektronik dari 1.049 Wajib Pajak (WP) yang terindikasi merupakan penerbit Faktur Pajak tidak sah pada Rabu 24 Januari 2018.
Penetapan status suspen ini merupakan pelaksanaan dari Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-19/PJ/2017 tentang Perlakuan terhadap Penerbitan dan/atau Penggunaan Faktur Pajak Tidah Sah oleh Wajib Pajak.
PER-19/PJ/2017 ini dimaksudkan untuk mencegah dan menghentikan kerugian lebih lanjut pada penerimaan pajak serta mengembalikan kerugian penerimaan pajak, Beberapa ketentuan yang penting diketahui antara lain sebagai berikut, seperti dikutip dari keterangan tertulis Kamis (25/1/2018):
1. Perlakuan terhadap Penerbitan FP Tidak Sah
WP yang terindikasi menerbitkan FP tidak sah akan dijatuhi status nonaktif (suspend) sehingga WP yang bersangkutan tidak dapat menerbitkan FP secara elektronik hingga ada klarifikasi yang dapat diterima DJP. Kriteria yang digunakan DJP untuk menetapkan atau mencabut status suspend adalah sebagai berikut:
Baca Juga
a. Keabsahan identitas WP, pengurus, dan/atau penanggung jawab WP;
b. Keberadaan serta kesesuaian atau kewajaran profil WP, pengurus, dan/atau penanggung jawab WP;
c. Keberadaan dan kewajaran lokasi usaha WP, dan
d. Kesesuaian kegiatan usaha WP
Apabila dalam 30 hari kalender setelah ditetapkan status suspend WP tidak dapat memberikan klarifikasi yang memadai, maka DJP mencabut sertifikat elektronik sehingga WP tidak dapat lagi menerbitkan FP untuk waktu seterusnya.
Dalam hal terhadap WP sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan, maka WP tidak boleh memberikan klarifikasi. Namun dapat memberikan keterangan beserta dokumen pendukung kepada Pemeriksa Bukti Permulaan atau Penyidik yang bersangkutan.
Status suspend dicabut apabila WP mampu memberikan klarifikasi yang menunjukkan pemenuhan empat kriteria tersebut di atas.
Namun demikian, apabila terdapat indikasi bahwa WP melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, antara lain merupakan penerbit FP yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya atau belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka terhadap WP yang bersangkutan tetap dilanjutkan dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Ke depan, Ditjen Pajak atau DJP secara konsisten dan berkesinambungan akan terus mengejar para penerbit FP tidak sah melalui penetapan status suspend dan penegakan hukum sehingga ruang gerak penerbit faktur akan semakin sempit dan kerugian negara semakin dapat diminimalkan.
Â
Advertisement
Selanjutnya
2. Perlakuan terhadap Penggunaan FP Tidak Sah
Terhadap WP yang menggunakan FP tidak sah yaitu yang berisi keterangan yang tidak benar, maka Pajak Masukan yang tercantum dalam FP tersebut tidak dapat dikreditkan dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai, dan pajak masukan serta harga perolehan yang tercantum dalam FP tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi sebagai harta dalam SPT Tahunan PPh.
Apabila WP telah melakukan pengkreditan, pembebanan sebagai biaya, atau kapitalisasi harta menggunakan FP tidak sah, maka WP yang bersangkutan harus membetulkan SPT Masa PPN dan/atau SPT Tahunan PPh.
FP adalah bukti pungutan PPN yang dibuat oleh PKP yang melakukan penjualan barang atau jasa kena pajak yang berfungsi sebagai dasar PKP melaksanakan mekanisme pengkreditan pajak masukan dengan pajak keluaran. Penerbit dan pengguna FP tidak sah memanfaatkan sistem PPN untuk mendapatkan keuntungan dengan cara mencuri dari keuangan negara.
Dalam kasus FP tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya atau umum dikenal FP fiktif, penerbit berperan sebagai lawan transaksi dari pengguna faktur dalam transaksi yang sebenarnya tidak terjadi.
Akibat dari penggunaan FP fiktif ini adalah menggelembungkan pajak masukan yang dapat dikreditkan, sehingga PPN yang seharusnya disetor menjadi lebih kecil atau bahkan pembobolan keuangan negara melalui pengembalian pajak oleh para pengguna FP fiktif tersebut.
Pada 2016-2017, jumlah kasus FP fiktif yang ditangani Kantor Pusat DJP mencapai 525 kasus dengan potensi kerugian negara mencapai Rp1,01 triliun, dengan 216 kasus berlanjut ke tahap pemeriksaan bukti permulaan.
Pajak merupakan sumber utama penerimaan Negara. Oleh karena itu, DJP mengajak seluruh WP untuk berpartisipasi mendanai pembangunan nasional dengan menghitung, membayar, dan melaporkan pajak secara benar dan tepat waktu.
DJP mengimbau WP untuk menghindari praktik curang dan penggelapan pajak termasuk dengan penerbitan dan penggunaan FP fiktif. DJP dengan dukungan penuh seluruh lembaga penegak hukum akan menindak tegas segala bentuk penghindaran pajak yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.