Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) melakukan sosialisasi Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Nomor 20/1/PADG/2018 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang. PADG mengenai penerbitan dan transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang ini berlaku efektif pada 2 Januari 2018.
Kepala Departemen Pendalaman Pasar Keuangan BI, Nanang Hendarsyah mengatakan, sasaran investor penerbitan Surat Berharga Komersial (SBK) tersebut adalah investor profesional yang memenuhi persyaratan BI. Salah satunya, mampu memenuhi syarat minimum pembelian SBK sebesar Rp 500 juta.
Advertisement
Baca Juga
"Jadi investornya bukan investor ritel. Investornya itu investor profesional. Karena minimum Rp 500 juta yang harus nominal pembeliannya," ujar Nanang di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (13/4/2018).
Nanang melanjutkan, investor juga diharuskan memahami risiko investasi. Sehingga, investor harus bisa melakukan penilaian (assesment) terhadap kondisi keuangan dan perusahaan penerbit SBK.
"Jadi kita harapkan investor yang bisa memahami risiko investasi. Jadi mereka harus bisa melakukan assesment terhadap kondisi keuangan dan legal perusahaan," jelasnya.
Syarat Jadi Penerbit SBK
Sementara itu, bagi perusahaan penerbit SBK atau issuer diwajibkan telah tercatat (listed) di pasar modal dan pernah menerbitkan obligasi dalam lima tahun terakhir. Syarat selanjutnya adalah issuer wajib memiliki rating investment grade positif.
"Kenapa yang listed, karena keterbukaan informasinya akan baik. Karena kan perusahaan yang listed telah melalui proses legal and financial due diligence oleh berbagai pihak. Dan harus ada keterbukaan informasi, itu sangat penting bagi investor yang akan membeli," jelasnya.
Nanang menambahkan, penerbitan SBK tidak hanya bagi perusahaan swasta. Hal tersebut juga terbuka bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun demikian dia belum dapat memastikan kapan penjualan SBK dapat dimulai, kebijakan tersebut tergantung issuer.
"Termasuk juga bisa BUMN, mungkin multifinance seperti itu yang bisa. Dana dana jangka pendek seperti itu juga bisa menerbitkan surat berharga komersial. Kita tergantung issuer, tapi BI sudah membuka pendaftaran," tandasnya.
Reporter : Anggun P. Situmorang
Sumber : Merdeka.com
Moody's Naikkan Peringkat Utang Indonesia
Lembaga pemeringkat Moody’s Investor Service menaikkan peringkat (rating) utang atau kredit Indonesia dari sebelumnya Baa3 dengan outlook stabil menjadi menjadi Baa2 dengan outlook positif.
Mengutip laporan Moody’s, Jumat (13/4/2018), peningkatan rating menjadi Baa2 didukung kerangka kebijakan yang semakin kredibel dan efektif yang kondusif bagi stabilitas makroekonomi Indonesia.
“Bersama dengan peningkatan penyangga keuangan, kebijakan fiskal dan moneter yang bijaksana, memperkuat keyakinan Moodys bahwa ketahanan dan kapasitas Indonesia untuk merespons guncangan. Akibatnya, utang Indonesia lebih sebanding dengan negara dengan tingkat Baa2,” mengutip penjelasan Analyst Sovereign Risk Group of Moody's Investors Service, Anushka Shah.
Laporan tersebut menekankan jika kebijakan yang efektif untuk menjaga stabilitas ekonomi makro meningkatkan ketahanan Indonesia terhadap guncangan. Sebab itu, Indonesia diharapkan fokus pada kebijakan fiskal dan moneter yang menjaga makroekonomi stabilitas dan membangun penyangga keuangan yang semakin jelas dalam beberapa tahun.
"Kebijakan dan cadangan keuangan yang lebih besar memperkuat kapasitas Indonesia untuk menanggapi guncangan," jelas dia.
Di sisi fiskal, Moody's menyebutkan jika pemerintah telah mempertahankan kepatuhan yang ketat terhadap batas defisit anggaran 3 persen, sejak 2003. Namun Moody tetap mengharapkan Indonesia fokus pada kehati-hatian fiskal dan berkontribusi terhadap stabilitas makroekonomi.
"Defisit rendah yang berkelanjutan menjaga beban utang tetap rendah dan, dikombinasikan dengan pendanaan denban jangka waktu yang panjang, mengurangi kebutuhan pembiayaan dan risiko," dia menambahkan.
Meski demikian, pendapatan negara yang lemah tetap disoroti Moody’s sebagai kendala kredit jangka panjang, termasuk kemungkinan mengikis kemampuan utang.
Perkiraan Moody's bahwa utang pemerintah Indonesia akan berkisar 30 persen dari PDB dalam beberapa tahun ke depan, di bawah rata-rata 39 persen dari PDB untuk semua investasi dan 46,2 persen untuk median Baa-rated.
Laporan juga menyebutkan tentang risiko utang BUMN yang cenderung meningkat terkait pelaksanaan proyek infrastruktur, tetapi tidak menimbulkan risiko yang signifikan terhadap kondisi fiskal Indonesia dalam beberapa tahun ke depan.
Advertisement
Selanjutnya
Terkait kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI), dinilai telah menetapkan rekam jejak yang memprioritaskan stabilitas ekonomi makro dengan mempromosikan pertumbuhan jangka pendek.
Target inflasi telah terpenuhi selama tiga tahun berturut-turut dan ekspektasi inflasi telah terbukti berlabuh di level sedang saat inflasi pokok meningkat tajam sebagai hasil dari reformasi subsidi pada tahun 2014.
Selain itu, penguatan posisi eksternal Indonesia dan peningkatan cadangan penyangga juga meningkatkan ketahanan negara terhadap guncangan potensial. Sementara beberapa percepatan ekspor pada tahun lalu dicatat seiring kenaikan permintaan global dan pemulihan harga komoditas, perbaikan struktural. Ini juga termasuk beberapa diversifikasi basis ekspor jauh dari komoditas menuju manufaktur yang berperan dalam mempersempit defisit transaksi berjalan.
Sebagai akibat dari defisit transaksi berjalan yang semakin menyempit dan arus masuk investasi yang kuat, cadangan devisa meningkat hingga USD 119 miliar pada akhir Maret (sementara cadangan internasional bruto meningkat menjadi USD 126 miliar). Ini merupakan tingkat yang konsisten dengan ukuran kecukupan cadangan.
Namun, Moody turut mengungkap indikator kerentanan eksternal Indonesia, dengan mengukur rasio utang jangka panjang yang jatuh tempo tahun depan dan utang jangka pendek terhadap stok cadangan, adalah 51,3 persen untuk 2018. Ini menunjukkan cadangan yang cukup dan kerentanan eksternal yang terbatas.
Fokus kebijakan yang kredibel pada kebijakan makroekonomi yang didukung penyangga keuangan yang substansial dikatakan mengurangi risiko adepresiasi mata uang yang tajam dan berkelanjutan.
"Kerangka kebijakan dan penyangga keuangan melengkapi kondisi ekonomi Indonesia yang besar, kuat dan stabil. Pertumbuhan PDB sekitar 5,0-5,3 persen dan sistem perbankan yang sehat dalam mendorong kapasitas negara untuk menyerapguncangan ekonomi atau keuangan," dia menandaskan.