Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyebut harga rokok di Indonesia terbilang mahal bila dibanding dengan negara lain.
"Di Indonesia harga rokok paling mahal. Kalau dilihat dari pendapatan per kapita, harga rokok kita sudah termasuk tertinggi di dunia,” kata Yustinus dalam diskusi publik Optimalisasi Penerimaan Perpajakan, di Bumbu Desa Cikini, Jakarta, Senin (14/5/2018).
Advertisement
Baca Juga
Yustinus mengatakan, harga rokok di Indonesia lebih tinggi dari negara-negara seperti Jepang, Korea, Australia, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Myanmar.
Penilaian ini berdasarkan indeks keterjangkauan yang diukur melalui rasio Price Relative to Income (PRI), yakni rasio yang memperhitungkan faktor daya beli ke dalam analisa keterjangkauan harga.
Namun demikian, dikatakan Yustinus hal ini justru berbalik dengan keterjangkauan harga rokok di berbagai negara dengan metode IPC pada bungkus rokok. Indonesia menduduki posisi paling rendah, di bawah negara Asia seperti Myanmar, Filiphina, dan Malaysia.
Sementara negara seperti Macau menduduki posisi paling tinggi, kemudian di susul Jepang, Taiwan, Korea, Hong Kong, China, Singapura, Vietnam.
Reporter : Dwi Aditya Putra
Sumber : Merdeka.com
Sri Mulyani Naikkan Cukai Rokok 10 Persen, Ini Penjelasannya
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, telah mengumumkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau atau rokok dengan rata-rata tertimbang sebesar 10,04 persen per 1 Januari 2018. Kebijakan ini sejalan dengan upaya pemerintah mengendalikan konsumsi rokok.
Kenaikan tarif cukai rokok tahun depan tertuang melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK-146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Adapun dalam beleid aturan ini, kenaikan tertimbang tarif cukai untuk jenis Sigaret Keretek Mesin (SKM) sebesar 10,9 persen, dan Sigaret Putih Mesin (SPM) sebesar 13,5 persen karena merupakan pabrikan besar dan industri padat modal. Adapun kenaikan tarif untuk Sigaret Keretek Tangan (SKT) yang merupakan industri padat karya ditetapkan hanya sebesar 7,3 persen. Bahkan untuk SKT golongan IIIA tidak ada kenaikan tarif.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi mengatakan, kebijakan kenaikan cukai rokok mulai 1 Januari 2018 memprioritaskan pengendalian atas konsumsi rokok. Namun tetap memperhatikan aspek lainnya, yaitu kondisi industri dan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan perpajakan dari sektor cukai, serta peredaran rokok ilegal.
"Keberpihakan kami terhadap aspek tenaga kerja industri hasil tembakau juga ditunjukkan dengan mendekatkan secara bertahap tarif terendah untuk jenis SPM golongan II dengan tarif cukai tertinggi pada jenis SKT golongan I. Tujuannya tarif cukai untuk seluruh SKT menjadi lebih rendah dibandingkan dengan tarif cukai untuk SKM," kata Heru dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa (31/10/2017).
Lebih jauh Heru menjelaskan, kenaikan tarif cukai rokok setiap tahun merupakan upaya pemerintah dalam rangka pengendalian konsumsi guna kesehatan masyarakat. Selama tiga tahun terakhir, ia menjelaskan, produksi rokok cenderung stagnan, bahkan turun.
Dari data Bea dan Cukai, produksi rokok tahun lalu turun 1,8 persen. Sementara proyeksinya di tahun ini akan kembali merosot sekitar 2,8 persen.
"Kenaikan tarif cukai rokok pada 2018 sebesar 10,04 persen diprediksi dapat kembali menurunkan produksi sebesar 2,2 persen, serta menurunkan prevalensi merokok hingga 0,4 persen," Heru menerangkan.
Menurutnya, penurunan prevalensi merokok ini akan diikuti dengan penurunan perokok usia di bawah 15 tahun dan perokok perempuan.
"Penurunan produksi dan konsumsi rokok diharapkan berdampak positif terhadap pengurangan pengeluaran rumah tangga untuk membeli rokok maupun pengurangan biaya kesehatan atas penyakit yang ditimbulkan karena merokok," jelas Heru.
Pemerintah akan mengoptimalkan pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk mengantisipasi penurunan produksi rokok yang diperkirakan akan berpengaruh terhadap permintaan bahan baku tembakau. Kondisi ini tentu akan berimbas pada kesejahteraan petani tembakau, pemanfaatan DBH untuk peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, dan pembinaan lingkungan sosial.
Program peningkatan kualitas bahan bakum antara lain, untuk standardisasi kualitas bahan baku, pembudidayaan bahan baku bernikotin rendah, dan fasilitasi pembentukan badan hukum kelompok petani tembakau.
Adapun program pembinaan industri diharapkan memfasilitasi pelaksanaan kemitraan usaha kecil, menengah dan usaha besar. Sementara program pembinaan lingkungan sosial diharapkan mampu meningkatkan pembinaan dan pelatihan keterampilan kerja bagi tenaga kerja dan masyarakat, penguatan ekonomi masyarakat melalui kegiatan padat karya yang dapat mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Advertisement