YLKI: Tarif Cukai Naik 10,04 Persen, Perokok Makin Banyak

Ketua YLKI Tulus Abadi menuturkan, kenaikan cukai seharusnya bersifat progresif sehingga mencapai angka minimal 57 persen.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 26 Okt 2017, 20:36 WIB
Diterbitkan 26 Okt 2017, 20:36 WIB
20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritisi rencana pemerintah menaikkan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 10,04 persen pada tahun depan yang dinilai terlalu konservatif. YLKI menyebut ini merupakan langkah mundur oleh pemerintah karena besaran penyesuaian lebih rendah dibanding tahun sebelumnya.

"Jika dilihat prosentasenya, kenaikan cukai 10,04 persen merupakan langkah mundur. Sebab pada 2016, kenaikan cukai rokok mencapai 11,19 persen dan 10,54 persen di 2017," ujar Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (26/10/2017).

Tulus menuturkan, setiap kenaikan cukai seharusnya bersifat progresif, sehingga mencapai angka minimal yakni 57 persen, sebagaimana amanat Undang-undang (UU) tentang Cukai.

Lebih jauh dia berpendapat, rendahnya kenaikan tarif cukai rokok tersebut mencerminkan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati masih sangat konservatif dalam mengambil kebijakan tersebut.

"Kenapa konservatif, karena seharusnya dengan kenaikan yang lebih tinggi pemerintah dapat menggali pendapatan dari sektor cukai yang lebih besar. Seharusnya Menkeu memahami hal ini mengingat defisitnya APBN akibat target pendapatan pajak yang selalu jeblok," tegasnya.

"Kenaikan tarif cukai yang tinggi juga bisa menjadi instrumen pengendalian konsumsi rokok. Sebab cukai adalah sin tax alias pajak dosa," Tulus menambahkan.

Dia mengatakan, data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menunjukkan mayoritas penyakit yang diderita pasien adalah penyakit degeneratif, yang salah satu pemicunya adalah konsumsi rokok.

"Pantas saja setiap tahun finansial BPJS mengalami bleeding. Pada tahun lalu, defisitnya mencapai Rp 9 triliun, dan pada 2017 diprediksi mencapai Rp 12 triliun," ujar Tulus.

Dia memperkirakan, kenaikan tarif cukai rokok yang rendah akan mengakibatkan prevalensi merokok semakin tinggi, karena harga rokok masih sangat terjangkau, baik oleh rumah tangga miskin, anak-anak, dan remaja.

"Kenaikan ini hanya berdampak terhadap kenaikan harga rokok sebesar Rp 30-50 per batang. Rokok masih bisa dibeli secara ketengan. Jadi Menkeu gagal memahami cukai sebagai pajak dosa sebagai instrumen pengendali konsumsi rokok," Tulus menegaskan.

YLKI menuding Sri Mulyani terlalu dominan mendengarkan suara industri rokok. Dia menganggap, pemerintah tidak independen dan tidak netral atas intervensi oleh industri rokok, dan mengabaikan aspirasi atau masukan dari masyarakat yang mendorong pengendalian konsumsi rokok.

"Imbauan Presiden agar petani mengurangi bertanam tembakau akibat dampak kenaikan cukai, juga tidak relevan. Kenaikan cukai 10,04 persen tidak berdampak apa pun terhadap petani tembakau. Nasib petani tembakau justru digerus oleh perilaku industri rokok yang seenaknya menentukan harga dan kualitas daun tembakau milik petani," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Tarif Cukai Rokok Naik 10 Persen

Sebelumnya Pemerintah menaikkan tarif cukai ‎hasil tembakau atau rokok rata-rata sebesar 10,04 persen pada 2018. Penyesuaian ini sudah disampaikan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat terbatas (ratas) di Istana Merdeka, pada Kamis 19 Oktober 2017. "Kenaikannya tidak besar, persisnya 10,04 persen. Tapi bukan untuk sekarang (tahun ini), tapi memang sudah ada di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution di kantornya.

Menurut Darmin, penentuan besaran tarif cukai rokok sebesar 10,04 persen merupakan rata-rata tarif. Artinya ada perbedaan kenaikan tarif cukai antara yang masuk kelompok Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM).

"‎Kan ada 12 layer. Nah, ditetapkan 10,04 persen itu rata-rata. Sehingga ada yang (tarif) di atas dan di bawah. Beda SKT dengan SKM," dia menambahkan.

Darmin menilai, kenaikan tarif cukai rokok tahun depan dengan rata-rata 10,04 persen masih tergolong rendah. Untuk diketahui, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani menaikkan tarif cukai rata-rata 10,54 persen di 2017.

"Itu sebetulnya sudah rendah, tidak tinggi. Karena sudah diperhitungkan di RAPBN 2018. Kan ada yang minta lebih tinggi dan lebih rendah, jadi benar dong (rata-rata 10,04 persen)," paparnya.

Dia bilang, hal ini sudah dibahas dengan Presiden Jokowi. Dalam rapat terbatas (ratas) diakuinya, hanya membahas kenaikan cukai rokok tahun depan, tidak ada mengenai pengenaan objek cukai baru.

"Ini kan menyangkut orang banyak, jadi dibawa pertemuan ke Presiden. Kalau tidak menyangkut orang banyak, tidak perlu juga. Tapi memang Presiden ingin dipikirkan hal-hal yang jauh lebih besar dibanding kenaikan, misalnya apa yang harus dilakukan dengan tanaman tembakau, seperti mengganti tanamannya dengan tanaman lain," tutur Darmin.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya