Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pungutan cukai dan pajak rokok dapat menjasi sumber pendanaan untuk menutupi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Menurut Sri Mulyani hal tersebut logis karena banyak masyarakat yang sakit karena rokok.
Sri Mulyani mengatakan, pemerintah daerah banyak mendaftarkan penduduknya menjadi peserta BPJS kesehatan. Oleh karen aitu pemerintah daerah perlu juga untuk berkontribusi dalam mengatasi defisit BPJS kesehatan.
"Daerah banyak sekali daftarkan penduduknya masuk ke dalam program BPJS, tapi di dalam konteks untuk kontribusi dalam iurannya sebetulnya masih cukup ada ruang," kata Sri Mulyani, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Jakarta, Senin (6/11/2017).
Advertisement
Baca Juga
Sri Mulyani mengungkapkan, pemerintah derah bisa berperan dalam mengatasi defisit BPJS kesehatan, dengan menyuntikan sebagian dana hasil cukai dan pajak rokok. Dia memperkirakan kontribusi dari sumber dana tersebut bisa mencapai Rp 5 triliun.
"Melalui dana bagi hasil cukai dan pajak rokok. kira-kira kontribusi mecapai di atas Rp 5 triliun," tutur Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, dana bagi hasil cukai dan pajak rokok sangat logis digunakan menutupi defisit BPJS kesehatan. Pasalnya, banyak masyarakat Indonesia yang sakit akibat rokok. Rencana tersebut akan dibahas Kementerian Dalam Negeri, sehingga alokasi dana untuk BPJS Kesehatan akan dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
"Dana bagi hasil cukai, banyak sakit disebabkan merokok sehingga menjadi salah satu solusi dianggap logis sesuai penerimaan negara berasal dari barang hasil tembakau. Hitungannya akan dilihat dan lakukan bersama Menteri Dalam Negeri, agar 2018 nanti APBD sudah ada pencantuman komitmen daerah dalam melakukan kontribusi pembayaran BPJS kesehatan," tutup Sri Mulyani.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Cukai naik
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, telah mengumumkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau atau rokok dengan rata-rata tertimbang sebesar 10,04 persen per 1 Januari 2018. Kebijakan ini sejalan dengan upaya pemerintah mengendalikan konsumsi rokok.
Kenaikan tarif cukai rokok tahun depan tertuang melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK-146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Adapun dalam beleid aturan ini, kenaikan tertimbang tarif cukai untuk jenis Sigaret Keretek Mesin (SKM) sebesar 10,9 persen, dan Sigaret Putih Mesin (SPM) sebesar 13,5 persen karena merupakan pabrikan besar dan industri padat modal. Adapun kenaikan tarif untuk Sigaret Keretek Tangan (SKT) yang merupakan industri padat karya ditetapkan hanya sebesar 7,3 persen. Bahkan untuk SKT golongan IIIA tidak ada kenaikan tarif.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi mengatakan, kebijakan kenaikan cukai rokok mulai 1 Januari 2018 memprioritaskan pengendalian atas konsumsi rokok. Namun tetap memperhatikan aspek lainnya, yaitu kondisi industri dan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan perpajakan dari sektor cukai, serta peredaran rokok ilegal.
"Keberpihakan kami terhadap aspek tenaga kerja industri hasil tembakau juga ditunjukkan dengan mendekatkan secara bertahap tarif terendah untuk jenis SPM golongan II dengan tarif cukai tertinggi pada jenis SKT golongan I. Tujuannya tarif cukai untuk seluruh SKT menjadi lebih rendah dibandingkan dengan tarif cukai untuk SKM," kata Heru dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa (31/10/2017).
Lebih jauh Heru menjelaskan, kenaikan tarif cukai rokok setiap tahun merupakan upaya pemerintah dalam rangka pengendalian konsumsi guna kesehatan masyarakat. Selama tiga tahun terakhir, ia menjelaskan, produksi rokok cenderung stagnan, bahkan turun.
Advertisement