Tanggapan Sri Mulyani soal Pandangan Ahli Mengenai Ekonomi RI

Menkeu Sri Mulyani mengingatkan berbagai pihak yang hanya berkomentar pedas soal ekonomi Indonesia.

oleh Merdeka.com diperbarui 24 Sep 2018, 14:45 WIB
Diterbitkan 24 Sep 2018, 14:45 WIB
Pemerintah rapat bersama Banggar
Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo melakukan rapat kerja dengan Banggar DPR di Gedung Nusantara II DPR, Kamis (31/5). Rapat membahas kerangka ekonom makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun 2019. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan berbagai pihak yang hanya bisa berkomentar pedas terhadap berbagai kebijakan ekonomi di Indonesia. Dia menuturkan, berbagai tudingan atau masalah yang kerap ditimbulkan tersebut sangatlah tidak mendasar.

"Perekonomian Indonesia biasanya sangat mudah dan banyak sekali ahli orang yang membuat dan mengidentifikasikan masalah. Itu ahlinya banyak. Membuat masalahnya ini, masalahnya begitu, dan Indonesia belum begini, Indonesia belum begitu," ujar dia saat memberikan sambutan dalam acara Seminar Nasional Peningkatan Ekspor di Kantornya, Jakarta, Senin (24/9/2018).

Meski demikian, Sri Mulyani tidak menjelaskan secara signifikan pernyataan tersebut dilontarkan untuk siapa. Terlebih dirinya menghargai apabila ada beberapa kritikan mengenai persoalan yang menyangkut perkembangan ekonomi Indonesia. Hal itu agar secara bersama-sama dapat diselesaikan dengan cara duduk bersama.

"Dan bahkan beberapa waktu lalu ada BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) yang datang ke sini mereka mengekspresikan berbagai persoalan dan berbagai rekomendasi. Mengenai masalah perekonomian Indonesia saya menghargai semuanya," kata Sri Mulyani.

Sebagai catatan, beberapa waktu lalu utang Indonesia memang terus menjadi bahan kritikan banyak pihak. Kemudian tak kalah penting kondisi perekonomian saat ini juga tengah mengalami defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). CAD saat ini sudah mencapai 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan defisit transaksi berjalan pada kuartal II-2018 tercatat sebesar USD 8 miliar. Menyoal utang pun, Pemerintah Jokowi-JK juga sempat mendapat kritikan. Salah satunya Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan yang mengatakan pembayaran utang pemerintah tidak wajar.

Dia menuturkan, pemerintah tidak bisa klaim rasio utang sekitar tiga persen adalah aman. Ini karena membayar utang Rp 400 triliun per tahun itu sangatlah besar. "Itu setara tujuh kali dari dana yang disalurkan ke desa-desa, enam kali anggaran kesehatan," kata dia, dalam sidang tahunan MPR.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

 

Sri Mulyani Beberkan Acuan Melihat Krisis di Suatu Negara

Sri Mulyani
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani saat memberi keterangan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/5). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membeberkan beberapa pilar-pilar ekonomi yang digunakan untuk melihat krisis tidaknya suatu negara. Pilar-pilar ini merupakan mesin yang terus dijaga oleh pemerintah dan Bank Indonesia.

"Saya akan memberi paparan mengenai perekonomian di dalam konteks 4 pilar. Secara simultan mereka adalah enzim atau mesin tapi juga merupakan suatu sumber bagi kita semua dalam menghadapi situasi ekonomi dunia yang berubah," ujarnya di Hotel Kempinski, Jakarta, Jumat 14 September 2018.

Pilar pertama adalah kondisi moneter. Kondisi moneter ini erat kaitannya dengan pengendalian inflasi yang rendah dalam tiga tahun belakangan. Selama tiga tahun pemerintah menjaga inflasi di kisaran 3,5 persen.

"Tiga tahun berturut menciptakan kredibilitas kita stabilkan harga-harga BI bersama pemerintah terus berupaya tingkat harga dari makanan komoditas yang diatur pemerintah maupun berasal dari demand supply terjaga," ujar dia.

Selain inflasi, indikator lain untuk melihat tingkat kesehatan pilar moneter adalah perbankan. Diukur dari jumlah pertumbuhan kredit, Loan to Deposit Ratio (LDR) serta capita adequacy ratio (CAR) Indonesia stabil dan kuat.

"LDR kita sudah mulai meningkat, growth pertumbuhan kredit kita masuk double digit. Artinya bank lihat kesempatan Indonesai tumbuh dan mendukung ekspansi kreditnya," jelasnya.

Pilar selanjutnya adalah Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Dari sisi ekonomi makro pertumbuhan ekonomi telah mencapai 5,17 persen. Inflasi di kisaran 3,5 persen dan Rupiah sampai September berada pada Rp 14.855 per USD.

"Dengan lingkungan makro tersebut, APBN kita tahun ini kira berencana belanja Rp 2.220 triliun dan penerimaan Rp 1.894 triliun. Pendapatan negara terdiri dari pajak bea cukai atau PNBP dari royalti dividen BUMN maupun lainnya," kata dia.

Sementara itu pilar terakhir dalam menghadapi gejolak ekonomi global adalah neraca pembayaran. Kondisi defisit neraca pembayaran Indonesia pada 2018 memang agak sedikit lebih besar daripada 2017.

"Dalam waktu 2 kuartal kita sudah catat defisit Rp 13 triliun, tahun lalu seluruh tahun Rp 17 triliun. Ini baru satu semester sudah diatas Rp 13.7 miliar. Hampir Rp 14 miliar sendiri. Sebetulnya itu enggak apa tapi transaksi modal investasi langsung yang tahun lalu diatas Rp 16 miliar. Tahun ini satu semester hanya Rp 5,4 miliar," tutur dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya