Sri Mulyani Beberkan Acuan Melihat Krisis di Satu Negara

Pilar-pilar ini merupakan mesin yang terus dijaga oleh pemerintah dan Bank Indonesia.

oleh Merdeka.com diperbarui 14 Sep 2018, 20:00 WIB
Diterbitkan 14 Sep 2018, 20:00 WIB
Sri Mulyani
Menteri Keuangan Sri Mulyani indarwati . (Liputan6.com/Loop/humas menkeu)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membeberkan beberapa pilar-pilar ekonomi yang digunakan untuk melihat krisis tidaknya suatu negara. Pilar-pilar ini merupakan mesin yang terus dijaga oleh pemerintah dan Bank Indonesia.

"Saya akan memberi paparan mengenai perekonomian di dalam konteks 4 pilar. Secara simultan mereka adalah enzim atau mesin tapi juga merupakan suatu sumber bagi kita semua dalam menghadapi situasi ekonomi dunia yang berubah," ujarnya di Hotel Kempinski, Jakarta, Jumat (14/9/2018).

Pilar pertama adalah kondisi moneter. Kondisi moneter ini erat kaitannya dengan pengendalian inflasi yang rendah dalam tiga tahun belakangan. Selama tiga tahun pemerintah menjaga inflasi di kisaran 3,5 persen.

"Tiga tahun berturut menciptakan kredibilitas kita stabilkan harga-harga BI bersama pemerintah terus berupaya tingkat harga dari makanan komoditas yang diatur pemerintah maupun berasal dari demand supply terjaga," jelasnya.

Selain inflasi, indikator lain untuk melihat tingkat kesehatan pilar moneter adalah perbankan. Diukur dari jumlah pertumbuhan kredit, Loan to Deposit Ratio (LDR) serta capita adequacy ratio (CAR) Indonesia stabil dan kuat.

"LDR kita sudah mulai meningkat, growth pertumbuhan kredit kita masuk double digit. Artinya bank lihat kesempatan Indonesai tumbuh dan mendukung ekspansi kreditnya," jelasnya.

Pilar selanjutnya adalah Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Dari sisi ekonomi makro pertumbuhan ekonomi telah mencapai 5,17 persen. Inflasi dikisaran 3,5 persen dan Rupiah sampai September berada pada Rp 14.855 per USD.

"Dengan lingkungan makro tersebut, APBN kita tahun ini kira berencana belanja Rp 2.220 triliun dan penerimaan Rp 1.894 triliun. Pendapatan negara terdiri dari pajak bea cukai atau PNBP dari royalti dividen BUMN maupun lainnya," jelasnya.

Sementara itu pilar terakhir dalam menghadapi gejolak ekonomi global adalah neraca pembayaran. Kondisi defisit neraca pembayaran Indonesia pada 2018 memang agak sedikit lebih besar daripada 2017.

"Dalam waktu 2 kuartal kita sudah catat defisit Rp 13 triliun, tahun lalu seluruh tahun Rp 17 triliun. Ini baru satu semester sudah diatas Rp 13.7 miliar. Hampir Rp 14 miliar sendiri. Sebetulnya itu enggak apa tapi transaksi modal investasi langsung yang tahun lalu diatas Rp 16 miliar. Tahun ini satu semester hanya Rp 5,4 miliar," jelasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

BI Terapkan Kebijakan Moneter Ketat pada 2019

Bank Indonesia
Karyawan menghitung uang kertas rupiah yang rusak di tempat penukaran uang rusak di Gedung Bank Indonessia, Jakarta (4/4). (Merdeka.com/Arie Basuki)

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan, arah kebijakan moneter Bank Indonesia pada 2019 tetap hawkish atau ketat. Upaya ini dilakukan untuk mengimbangi langkah Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed).

"Policy masih harus hawkish di tahun 2019," ujar Mirza saat memberikan paparan dalam rapat kerja dengan DPR di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (13/9/2018).

Mirza mengatakan, tahun ini masih akan terjadi kenaikan suku bunga sebanyak dua kali. Kenaikan tersebut diprediksi terjadi pada September dan Desember. Sedangkan pada 2019 akan terjadi penyesuaian suku bunga sebanyak 2 sampai 3 kali.

"Sehingga di dalam proyeksi BI bahwa suku bunga AS 2019 akan naik dari 2 persen sampai ke 3,25 persen. Jadi masih ada 1,25 persen lagi suku bunga AS meningkat," jelasnya.

Tekanan ini, kata Mirza, membuat bank sentral melanjutkan arah kebijakan moneter yang ketat. Pihaknya akan konsisten menerapkan kebijakan yang bersifat lebih mendahului atau ahead of the curve. "Sehingga BI sesuai, bahwa kami harus a head of the curve, kebijakan kami masih harus hawkish (ketat)," jelasnya.

Sebelumnya, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara memprediksi bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) akan menaikkan suku bunga acuan sampai 3,25 persen hingga 2019. Untuk diketahui, suku bunga The Fed saat ini berada pada angka 2 persen.

"Di dalam proyeksi kami di Bank Indonesia, kami perkirakan bahwa suku bunga Amerika Serikat 2019 akan naik sampai 3,25 persen. Jadi 2,0 persen sekarang masih akan naik sampai 3,25 persen," ujarnya di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (13/9).

Mirza menjelaskan, pengetatan kebijakan moneter di Amerika Serikat sebenarnya sudah direncanakan sejak 2013.

Pada 2013 Amerika Serikat memberikan aba-aba bahwa akan mulai melakukan pengetatat dan mulai 2013 pasar keuangan terutama emerging market mengalami volatility yang cukup tinggi.

"Suku bunga Amerika Serikat mulai naik di 2015 akhir. Sedangkan, pengetatan likuiditasnya dimulai 2014, jadi ada dua hal terjadi sekaligus dari Federal Reserve likuiditasnya berkurang dan suku bunganya naik," jelasnya.

Reporter: Anggun P Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya