Liputan6.com, Jakarta Pemerintah terus berupaya untuk menyederhanakan rantai suplai B20. Saat ini pabrik Fame terkonsentrasi di Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kondisi ini diakui tidak efisien dalam proses distribusi B20 ke TBBM.
"Yang tadi itu semangatnya penyederhanaan dari konfigurasi rantai pasokan. Kan sekarang pabrik Fame terkonsentrasi di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan sementara yang dilayani selama ini sampai 112 TBBM," kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (1/11/2018).
"Itu konsekuensinya memerlukan kapal yang banyak. Itu juga kalau ada. Intinya tidak efektif dan efisien. Yang tadi dirapatkan bagaimana menyederhanakan itu," jelas dia.
Advertisement
Dia mengatakan dalam rapat yang dilaksanakan di Kantor Menko Perekonomian, telah diputuskan bahwa ke-112 TBBM tersebut akan dibagi dalam 10 cluster.
"Bagaimana 112 kemudian di clustering. Nah, konsekuensinya seperti apa. Sebanyak 6 di kilang Pertamina ditambah 4 tujuan yang eks impor. Ada yang di Medan, di Kalimantan. Sudah (ditentukan) 10 (cluster)-nya tinggal kesiapannya yang akan dibahas lagi Senin (pekan depan)," ujar dia.
Terkait kesiapan pelaksanaan 10 cluster tersebut, kata Rida, pemerintah masih menunggu kajian dari pihak Pertamina. Kajian Pertamina akan kembali dibahas pada rapat yang akan kembali diadakan.
"Termasuk misalnya keperluan tambahan floating storage di beberapa lokasi. Nah, itu yang dibahas. Nah, ini Pertamina akan kumpulkan data Senin rapat lagi," imbuh Rida.
Dia pun optimis bahwa dengan adanya 10 cluster ini, distribusi B20 menjadi lebih sederhana dan efisien sehingga dapat mendorong distribusi. Sejauh ini, proses distribusi B20, kata dia sudah berjalan baik.
"Udah jalan udah makin baik dengan konfigurasi semacam ini akan di atas 50 persen realisasinya," tandasnya.
Reporter: Wilfridus Setu Umbu
Sumber: Merdeka.com
Program B20 Bawa Nilai Tambah buat Minyak Sawit RI
Genap dua bulan sudah penerapan kebijakan pencampuran bahan bakar minyak (BBM) solar dengan minyak kelapa sawit (B20) sebesar 20 persen telah berlaku.
Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, dampak penerapan B20 sangat dirasakan perseroan. Kebijakan mandatori ini juga berdampak besar terhadap negara.
Baca Juga
"Awalnya kan B20 ini untuk kurangi impor. Tapi kalau dari Pertamina itu bulan kemarin kita sudah kurangi impor. B20 sudah terasa dampaknya, volume impor untuk solar itu menurun," ujar dia di Bontang, Kalimantan Timur, seperti dikutip Senin (29/10/2018).
Dirut Nicke menjelaskan, kebijakan perluasan B20 membawa penurunan konsumsi impor BBM sebanyak 20 persen.
"20 persen turunnya selama 2 bulan ini, kan campurannya 20 persen dikurangi dengan kami kan. Jadi 20 persen dari volume turunya," tutur dia.
Nicke melanjutkan, penerapan B20 bahkan mengkerek harga minyak sawit mentah di tingkat global.
"Untuk negara (B20) itu sangat membantu karena selama ini kan ekspor terbesar kedua untuk pendapatan negara datangnya dari CPO. Jadi bukan Dolar aja yang naik, harga CPO juga naik. Jadi kalau 20 persen itu bisa kita ganti dengan local resources kan tentu sangat membantu," kata Nicke.
Ia pun mengaku senang dengan hasil sementara dari penerapan kebijakan B20 yang tengah berjalan selama dua bulan terakhir. Terutama bagaimana penerapannya membawa nilai tambah bagi CPO.
"Jadi ketika kita manfaatkan local resources kita, maka itu sangat baik sehingga industri CPO kemudian bisa nambah lagi added value-nya," pungkas dia.
Advertisement