Pemakaian Biodiesel 20 Persen, Impor Solar Berkurang

Kementerian ESDM menyatakan, penggunaan 20 persen biodiesel ‎dicampur solar (B20) meningkat.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 05 Nov 2018, 16:49 WIB
Diterbitkan 05 Nov 2018, 16:49 WIB
(Foto:Liputan6.com/Ilyas I)
Peluncuran perluasan penerapan Biodiesel 20 persen (Foto:Liputan6.com/Ilyas I)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) menyatakan, penggunaan 20 persen biodiesel ‎dicampur solar (B20) meningkat. Hal ini menunjukkan pelasanaan program semakin maksimal.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Djoko Siswanto, mengatakan realisasi penyerapan 20 persen biodiesel hingga akhir Oktober sebesar 95 persen, jauh lebih besar ketimbang penyerapan September 2018 hanya sebesar 85 persen.

"Itu per bulan ukurannya. September 85 persen. Kira-kira akhir Oktober 95 persen lah,"‎ kata Djoko, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (5/11/2018).

Djoko menuturkan, dengan meningkatnya pencampuran 20 persen minyak sawit dengan solar, membuat impor solar Indonesia menurun. Namun, ketika ditanyakan seberapa banyak penurunan impor solarnya, dia belum bisa menyebutkan.

‎"Belum dihitung. Ada tadi angkanya tapi saya lupa, sebutin persennya saja, otomatis kalau  terserap kan impornya juga berkurang," tutur dia.

‎Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, ‎realisasi penyerapan biodiesel sampai kuartal III 2018 sudah mencapai 2,53 juta Kilo liter (Kl) dari target tahun ini sebesar 3,92 juta KL. "Sampai Oktober 2018 2,53 juta KL kurang lebih 60 persen‎," tutur Rida.

Rida mengakui, pelaksanaan pencampuran 20 persen biodiesel dengan solar (B20) belum optimal, sebab masih terkendala logistik. Sementara untuk pasokan biodiesel yang dicampur solar cukup memenuhi kebutuhan.

"Kami mengakui B20 belum optimal, tapi lebih baik, karena dari logistik. Sementara sisi produksi mencukupi," ujar dia.

Seperti diketahui, Badan Pusat Stastisik (BPS) mencatatkan neraca perdagangan September 2018 surplus USD 227 juta. Sementara itu, impor migas pada September 2018 turun USD 0,77 miliar atau sekitar 25 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Pada September, impor migas tercatat USD 2,28 miliar dari sebelumnya USD 3,05 miliar pada Agustus 2018.

"Nilai impor September 2018 mencapai USD 14,60 miliar, turun sebesar 13,18 persen dibanding Agustus 2018. Secara yoy mengalami peningkatan 14,18 persen. Kalau kita pisahkan migas dan nonmigas, keduanya mengalami penurunan pada September. Untuk yang migas mengalami penurunan 25,20 persen dari USD 3,05 miliar menjadi USD 2,28 miliar," ujarnya di Kantor BPS, Jakarta, Senin 15 Oktober 2018.

Yunita mengatakan, untuk sektor migas selain penurunan nilai juga terjadi penurunan volume sebesar 26,71 persen.

Masing-masing minyak mentah, minyak hasil dan gas mengalami penurunan volume sebesar 30,01 persen, 26 persen dan 18,60 persen.

"Minyak mentah itu turun 31,90 persen. Volumenya juga turun 30,01 persen. Nilai hasil minyak turun juga 23,06 persen. Sedangkan volumenya turun 26 persen. Nilai gas turun 14,30 persen, volumenya 18,60 persen. Jadi ada pengaruh kenaikan rata-rata harga agregat," jelasnya.

Sementara itu, impor menurut penggunaan barang konsumsi pada September 2018 ini dibandingkan dengan Agustus 2018 atau month to month (mtm) juga mengalami penurunan 14,97 persen. Konsumsi pada September 2018 sebesar USD 1,32 miliar.

"Penurunan terbesar itu untuk beras dari Tiongkok dan Pakistan, kedua untuk frozen buffalo and beef dari India juga mengalami penurunan. Untuk AC Thailand mesin juga mengalami penurunan, fresh grapes dari Tiongkok juga mengalami penurunan, dan whole milk powder dari New Zealand," jelas dia.

"Untuk bahan baku penolong, secara mtm juga mengalami penurunan 13,53 persen yaitu sebesar USD 10,92 miliar. Yang mengalami penurunan terbesar antara lain emas dari Jepang dan Hongkong, Soybean milk dari Argentina, mainboard dari Tiongkok, raw sugar dari Thailand juga turun," ujar dia.

 

 

 

Kementerian ESDM Belum Terima Keluhan soal Penerapan Biodiesel 20 Persen

(Foto:Liputan6.com/Ilyas I)
Peluncuran penerapan Biodiesel 20 persen (Foto:Liputan6.com/Ilyas I)

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan hingga kini belum menerima keluhan terkait penerapan aturan Biodiesel 20 persen (B20) yang mulai dilaksanakan sejak 1 September 2018.

Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM,Rida Mulyana, mengatakan B20 bukan merupakan program tiba-tiba. Program ini mulai diidekan sejak 2006. Adapun kebijakan ini baru diintensifkan pada 2016 setelah dibentuknya Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).

"Program ini pas 2006 masih bergantung APBN, karena biodiesel-nya mahal jadi dapat tambahan subsidi APBN. Makanya jalannya tidak begitu mulus. Dengan adanya BPDP, jadi ada kerangka pembiayaan dari sana," ungkap dia saat berjumpa dengan wartawan di Jakarta, Rabu 26 September 2018.

Dalam mengelola dana B20, ia melanjutkan, pemerintah mengandalkan nilai jual minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) yang kini di pasaran global rendah.

"Uangnya berdasarkan hasil iuran ekspor sawit. Uangnya terus muter untuk digunakan buat sawit juga. Jadi ini bukan program yang ujug-ujug (tiba-tiba)," sambungnya.

Dia pun mengaku, selama ini Kementerian ESDM belum mendapat keluhan terhadap regulasi Biodiesel 20 persen yang telah diimplementasikan sejak awal September ini.

"Alhamdulillah setelah 2,5 tahun, kami sebagai lead sector belum menerima keluhan. Saya belum dengar ada kejadian, truk mogok karena B20," ujar dia.

"Pada saat pak Jokowi menyetujui ini, dia bilang manfaat biodiesel bisa untuk multisektor. Jadi ini harus dipaksakan, dan semua sektor terkait harus mendukung. Beberapa pihak seperti Gaikindo pada saat itu langsung mendukung," tambah dia.

Selain itu, Rida menyampaikan, implementasi aturan ini secara momentum sangat pas, lantaran turut ditopang oleh berbagai kondisi yang sedang tidak memungkinkan seperti kenaikan harga minyak dan pelemahan rupiah.

"1 September kenapa ada? Karena momentumnya pas. Ini didorong neraca perdagangan negatif? Saya bisa bilang yes. Karena impor subsektor migas juga pengaruhi neraca perdagangan yang defisit," ujar dia.

 

 Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya