Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Jokowi-JK resmi meluncurkan perluasan penggunaan biodisel 20 persen (B20) untuk public service obligation (PSO) dan non-PSO pada 1 September 2018. Namun dalam realisasinya, kebijakan ini masih menemui beberapa kendala seperti halnya penyaluran Fatty Acid Methyl Ester (FAME).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pihaknya tengah berupaya meminta Pertamina untuk mengurangi beberapa titik lokasi penyaluran FAME. Sebab, semakin banyak lokasi maka ketersediaan kapal yang dibutuhkan pun lebih banyak juga.
"Ada masalah pencampurannya terlalu banyak titiknya sehingga kapal yang diperlukan banyak. Itu sekarang mulai kami kurangi, kami minta Pertamina untuk kurangi supaya jangan kemudian perlu kapalnya banyak," kata Damrin di Kantornya, Jakarta, Kamis (15/11/2018) malam.
Advertisement
Baca Juga
Darmin pun menginginkan supaya ada semacam penyimpanan apung (floating storage) untuk menampung FAME dari kapal-kapal pengangkut.
"Kami malah sedang menyiapkan harus ada floating storage. Kalau itu tidak ada, gini dulu waktu PSO aja itu tankinya oke masih cukup. Tapi begitu masuk non-PSO itu tankinya kurang. dia tiba-tiba perlu yang tadinya tankinya satu cukup sekarang dua," katanya.
Darmin mengatakan, untuk floating storage sendiri akan disediakan oleh Pertamina, yang kemudian nantinya akan disewakan oleh perusahaan yang menyediakan FAME.
"Tapi itu kita sudah ketemu solusinya artinya kalau floating storage sudah ada tinggal penempatan yang tidak akan memakan waktu banyak," imbuhnya.
Meski masih ada beberapa kendala di lapangan, implementasi B20 sendiri dikatakan Darmin sudah nyaris 100 persen. "Sebetulnya di dalam ini kita N20 itu akan optimal artinya mendekati 100 persen dari potensinya itu di Desember," pungkasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pemakaian Biodiesel 20 Persen, Impor Solar Berkurang
Sebelumnya, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) menyatakan, penggunaan 20 persen biodiesel dicampur solar (B20) meningkat. Hal ini menunjukkan pelasanaan program semakin maksimal.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Djoko Siswanto, mengatakan realisasi penyerapan 20 persen biodiesel hingga akhir Oktober sebesar 95 persen, jauh lebih besar ketimbang penyerapan September 2018 hanya sebesar 85 persen.
"Itu per bulan ukurannya. September 85 persen. Kira-kira akhir Oktober 95 persen lah," kata Djoko pada Senin 5 November 2018.
Dengan meningkatnya pencampuran 20 persen minyak sawit dengan solar, membuat impor solar Indonesia menurun. Namun, ketika ditanyakan seberapa banyak penurunan impor solarnya, dia belum bisa menyebutkan.
BACA JUGA
"Belum dihitung. Ada tadi angkanya tapi saya lupa, sebutin persennya saja, otomatis kalau terserap kan impornya juga berkurang," tutur dia.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, realisasi penyerapan biodiesel sampai kuartal III 2018 sudah mencapai 2,53 juta Kilo liter (Kl) dari target tahun ini sebesar 3,92 juta KL. "Sampai Oktober 2018 2,53 juta KL kurang lebih 60 persen," tutur Rida.
Rida mengakui, pelaksanaan pencampuran 20 persen biodiesel dengan solar (B20) belum optimal, sebab masih terkendala logistik. Sementara untuk pasokan biodiesel yang dicampur solar cukup memenuhi kebutuhan.
"Kami mengakui B20 belum optimal, tapi lebih baik, karena dari logistik. Sementara sisi produksi mencukupi," ujar dia.
Seperti diketahui, Badan Pusat Stastisik (BPS) mencatatkan neraca perdagangan September 2018 surplus USD 227 juta. Sementara itu, impor migas pada September 2018 turun USD 0,77 miliar atau sekitar 25 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Pada September, impor migas tercatat USD 2,28 miliar dari sebelumnya USD 3,05 miliar pada Agustus 2018.
"Nilai impor September 2018 mencapai USD 14,60 miliar, turun sebesar 13,18 persen dibanding Agustus 2018. Secara yoy mengalami peningkatan 14,18 persen. Kalau kita pisahkan migas dan nonmigas, keduanya mengalami penurunan pada September. Untuk yang migas mengalami penurunan 25,20 persen dari USD 3,05 miliar menjadi USD 2,28 miliar," ujarnya di Kantor BPS, Jakarta, Senin 15 Oktober 2018.
Yunita mengatakan, untuk sektor migas selain penurunan nilai juga terjadi penurunan volume sebesar 26,71 persen.
Masing-masing minyak mentah, minyak hasil dan gas mengalami penurunan volume sebesar 30,01 persen, 26 persen dan 18,60 persen.
"Minyak mentah itu turun 31,90 persen. Volumenya juga turun 30,01 persen. Nilai hasil minyak turun juga 23,06 persen. Sedangkan volumenya turun 26 persen. Nilai gas turun 14,30 persen, volumenya 18,60 persen. Jadi ada pengaruh kenaikan rata-rata harga agregat," jelasnya.
Sementara itu, impor menurut penggunaan barang konsumsi pada September 2018 ini dibandingkan dengan Agustus 2018 atau month to month (mtm) juga mengalami penurunan 14,97 persen. Konsumsi pada September 2018 sebesar USD 1,32 miliar.
"Penurunan terbesar itu untuk beras dari Tiongkok dan Pakistan, kedua untuk frozen buffalo and beef dari India juga mengalami penurunan. Untuk AC Thailand mesin juga mengalami penurunan, fresh grapes dari Tiongkok juga mengalami penurunan, dan whole milk powder dari New Zealand," jelas dia.
"Untuk bahan baku penolong, secara mtm juga mengalami penurunan 13,53 persen yaitu sebesar USD 10,92 miliar. Yang mengalami penurunan terbesar antara lain emas dari Jepang dan Hongkong, Soybean milk dari Argentina, mainboard dari Tiongkok, raw sugar dari Thailand juga turun," ujar dia.
Advertisement