Liputan6.com, Jakarta - Istana buka suara merespons tulisan majalah The Economist pada artikel berjudul "Indonesia' economic growth is being held back by populism" (Pertumbuhan ekonomi Indonesia tertahan oleh populisme). Tulisan ini berisi kritikan mulai dari angka kemiskinan, pengangguran, investasi, infrastruktur, anggaran subsidi hingga masalah ketenagakerjaan.
Bila membaca langsung The Economist, target kritik sebetulnya bukanlah Presiden Jokowi, melainkan fenomena populisme yang terjadi sehingga memengaruhi kebijakan.
"Bermacam masalah menghalangi jalan, pemerintah telah mengambil langkah untuk memperbaiki berbagai masalah itu. Tetapi seringnya kecenderungan populis dan nasionalis menjadi penyebab utama obstruksi," tulis koran asal Inggris itu.
Advertisement
Baca Juga
The Economist menyoroti kebijakan naiknya upah tenaga kerja yang 45 persen lebih tinggi dari Vietnam sehingga membuat upah lebih tinggi, juga dibahas usaha pemerintah meliberalisasi untuk mengundang investasi asing kerap diserang (salah satu contoh ketika ada protes soal 54 industri diizinkan dipegang asing).
Lalu ada pula meningkatnya anggaran subsidi yang menghambat pemakaian dana untuk keperluan pembangunan infrastruktur. Kemampuan pemerintah mengundang investasi juga turut disindir.
"Kami mengapresiasi atas kritik yang disampaikan The Economist, namun banyak kritik tersebut yang perlu diklarifikasi karena tidak berdasarkan pada data yang akurat dan peta komprehensif atas kemajuan ekonomi Indonesia dari waktu ke waktu," kata Staf Khusus Presiden Istana Ahmad Erani Yustika.
Salah satunya perihal anggaran subsidi yang disebut meningkat oleh The Economist. Data menunjukkan dari tahun ke tahun porsi dana subsidi di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) ternyata menurun.
"Sepanjang 2005-2009, porsi belanja subsidi terhadap belanja negara mencapai 20,5 persen per tahun; sedangkan pada periode 2010-2014 rata-rata 21,6 persen per tahun. Pada 2015-2019, subsidi hanya mengambil porsi 9,5 persen per tahun terhadap belanja negara. Pada 2019, porsi belanja subsidi hanya 9,1 persen dari belanja negara."
Perihal investasi, Istana mengakui pernah ada penurunan, namun ia menyebut angka itu sudah masuk daftar pemulihan.
"Di Indonesia, pada 2012 total penanaman modal tumbuh hingga 24 persen dan mencapai level tertinggi pada 2013 sebesar 27 persen. Namun, realisasi tersebut turun signifikan dan hanya tumbuh 16 persen pada 2014. Tren perlambatan pertumbuhan investasi mulai pulih. Pada 2017 dengan pertumbuhan 13 persen; di mana pada 2016 tumbuh 12 persen," ungkap dia.
Ahmad juga berbicara mengenai suku bunga yang dibahas The Economist. Ia menilai, menanjaknya suku bunga adalah wajar pada situasi ekonomi dunia saat ini. Bank-bank sentral lain pun melakukannya.
"Kondisi ekonomi dunia tidak berada dalam kondisi bugar selama 2018, memaksa sebagian besar negara menggunakan kebijakan yang cenderung ketat agar stabilitas ekonomi terjaga. Beberapa faktor pendorongnya adalah kenaikan suku bunga The Fed, kenaikan harga minyak, dan dampak perang dagang. Kondisi tersebut menyebabkan tekanan pada neraca transaksi berjalan dan nilai tukar. Dengan berbagai kondisi yang terjadi, kenaikan suku bunga dilakukan oleh hampir seluruh bank sentral dengan besaran yang berbeda," jelasnya.
Pertumbuhan Ekonomi dan Tenaga Kerja
The Economist juga menyebut tenaga kerja Indonesia yang terampil. Menurut pihak Istana, porsi tenaga kerja formal justru meningkat menjadi 43 persen per Agustus 2018. Para pengangguran dan pekerja paruh waktu juga menurun.
"Pada Agustus 2018, porsi tenaga kerja yang berstatus setengah pengangguran dan pekerja paruh waktu masing-masing 22 persen dan 6,6 persen dari tenaga kerja, sedangkan pada Agustus 2014 masing-masing 22,7 persen dan 8,4 persen," jelas pernyataan Istana.
Produktivitas tenaga kerja Indonesia juga tercatat terus meningkat. Data ILO menunjukkan produktivitas pekerja pada periode 2014-2018 tumbuh sebesar US$1.408 atau 18 persen. Ahmad menilai, peningkatan itu masih lebih baik dari periode 2009-2013 yang hanya naik sebesar US$1.122 atau 17 persen.
Berkurangnya angka pengangguran seiring dengan makin kuatnya dorongan reindustrialisasi yang dilakukan pemerintah selama 4 tahun terakhir, salah satunya lewat BUMN. PT INKA, PT PAL, PT DI, PT PIDNAD, PT Barata Indonesia, dan PT Krakatau Steel adalah beberapa contoh BUMN yang berhasil menembus pasar internasional, demikian penjelasan Ahmad.
"Jika mampu ekspor berarti kegiatan produksi di sektor industri terus berjalan dan lapangan kerja tentu kian terbuka," ujarnya.
Lebih lanjut, sepanjang 2015-2017, industri unggulan nasional mampu tumbuh positif di atas pertumbuhan ekonomi nasional, seperti industri makanan dan minuman tumbuh rata-rata 8 persen per tahun, industri kimia, farmasi, dan obat 5,87 persen; serta industri mesin dan perlengkapan 6,06 persen.
Ekspor produk industri manufaktur pada semester I-2018 mencapai 71,6 persen dari total ekspor. Tenaga kerja sektor industri meningkat 17 persen dari 15 juta orang pada 2014 menjadi 18 juta orang pada 2018, serta ada total13 Kawasan Industri yang dikembangkan pemerintah sepanjang 2015-2018.
Advertisement
Ekonomi Sedang Pulih
Kritikan tajam dari The Economist muncul pada pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut ekonomi tumbuh 7 persen. Namun, ekonomi hanya tumbuh di kisaran 5 persen.
Mengenai hal ini, Istana menyebut tren pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang membaik.
"Tren pertumbuhan ekonomi Indonesia justru naik dari 5,01 persen pada 2014 menjadi 5,17 persen pada 2018 (Triwulan III). Tren pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan penurunan sejak 2011 hingga 2015. Pada 2011, pertumbuhan ekonomi mencapai 6,4 persen dan turun menjadi 4,9 persen pada 2015; setelah itu pertumbuhan ekonomi menanjak kembali secara perlahan di saat negara lain pertumbuhan ekonomi makin turun, termasuk Cina," tulisnya.
Indonesia juga tengah memperkuat langkah untuk mengurangi tekanan pada transaksi neraca berjalan. Di antaranya seperti menaikkan PPh barang impor, penggunaan B20 untuk mengurangi impor BBM.
Kemiskinan Menurun
Salah satu hallmark pemerintah di tahun 2018 adalah menurunnya tingkat kemiskinan menjadi satu digit. Angka kemiskinan sebesar 9,66 persen adalah yang terendah dalam sejarah RI.
"Kualitas pertumbuhan ekonomi membaik. Untuk pertama kalinya sejak 2016 pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan secara bersamaan. Seperti diketahui, pada periode 2005-2014 ketimpangan pendapatan terus meningkat," kata Ahmad.
Istana membeberkan angka kemiskinan yang turun dari 11 persen (2014) menjadi 9,6 persen (2018). Pengangguran turun dari 5,94 persen (2014) menjadi 5,3 persen (2018). Ketimpangan pendapatan turun dari 0,4 (2014) menjadi 0,38 (2018).
Pada 2015-2018, inflasi harga pangan (volatile food) hanya 2,2 persen per tahun, itu turun dari periode 2010-2013 rata-rata 9,6 persen per tahun; dan periode 2005-2008 rata-rata 14,3 persen per tahun.
"Pertumbuhan PDB per kapita lebih tinggi dari inflasi. Pada Periode 2015-2017, rata-rata pertumbuhan PDB per kapita sebesar 3,68 persen per tahun dengan inflasi rata-rata 3,39 persen per tahun. Pertumbuhan PDB per kapita sepanjang 2012-2014 rata-rata 4,1 persen per tahun dimana rata-rata inflasi sebesar 7 persen per tahun," jelas Ahmad.
Sama halnya dengan manajemen fiskal terkelola dengan baik. Itu tergambar dari defisit di bawah 3 persen dari PDB dan utang di bawah 30 persen dari PDB. Ahmad pun mencatat. Indikator sektor keuangan sehat. NPL di bawah 5 persen dan CAR di atas 20 persen.
Advertisement
Meningkatkan SDM
Menjelang akhir klarifikasinya, Ahmad kembali berbicara mengenai kualitas tenaga kerja Indonesia. Pada pemerintahan Joko Widodo, pemerintah fokus tak hanya pada produktivitas, melainkan kualitas.
"Pemerintah tidak hanya menitikberatkan pada aspek produktivitas semata, namun juga fokus pada peningkatan kualitas SDM agar dalam jangka panjang produktivitas tenaga kerja semakin baik," kata Ahmad.
Dalam masalah upah minimum yang dikritik, pemerintah berkata kenaikkan upah itu sudah disesuaikan dengan pihak industri dan dilakukan sebagai cara agar menaikkan produktivitas. Rata-rata upah minimum provinsi (UMP) secara nasional sepanjang 2014-2019 naik 60 persen.
Koneksi antara pegawai dengan pelaku industri juga diperkuat. Ini dilakukan agar mereka di program vokasi bisa dilatih oleh industri terkait sehingga menghasilkan tenaga kerja yang tidak hanya terampil, tetapi siap kerja di industri yang membutuhkan.
"Pemerintah telah mendorong program vokasi dan bekerja sama dengan pelaku industri agar menghasilkan sumber daya manusia (SDM) tenaga kerja yang siap kerja dan ahli di bidangnya (program link and match)," pungkasnya.