Rupiah Tertekan, Namun Potensi Penguatan Bisa Terjadi

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.070 per dolar AS hingga 14.095 per dolar AS.

oleh Arthur Gideon diperbarui 14 Feb 2019, 12:48 WIB
Diterbitkan 14 Feb 2019, 12:48 WIB
Rupiah Menguat Tipis atas Dolar
Pekerja bank menghitung uang dollar AS di Jakarta, Jumat (20/10). Pagi ini, Rupiah dibuka di Rp 13.509 per USD atau menguat tipis dibanding penutupan perdagangan sebelumnya di Rp 13.515 per USD. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan Kamis ini. Namun rupiah masih memiliki peluang besar untuk kembali menguat.

Mengutip Bloomberg, Kamis (14/2/2019), rupiah dibuka di angka 14.070 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.059 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.070 per dolar AS hingga 14.095 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah mampu menguat 2,10 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.093 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.027 per dolar AS

.

Ekonom Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih, memperkirakan bahwa nilai tukar rupiah masih berpotensi menguat seiring apresiasi mata uang regional.

"Pagi ini mata uang kuat Asia yen dan Hong Kong dolar dibuka menguat terhadap dolar ASyang bisa menjadi sentimen penguatan rupiah hari ini," ujar Lana dikutip dari Antara.

Rupiah memang ditransaksikan bergerak melemah, yen sendiri menguat 0,03 poin ke posisi 110,98 per dolar AS dari sebelumnya 111,01 per dolar AS. Sedangkan dolar Hong Kong menguat menjadi 7,85 per dolar AS.

"Rupiah kemungkinan menguat ke level 14.030 per dolar AS sampai 14.050 per dolar AS," ujar Lana.

Sebelumnya atau pada perdagangan Rabu, rupiah menguat memanfaatkan terkoreksinya dolar AS. Pelemahan dolar AS terjadi akibat aksi ambil untung oleh pelaku pasar.

Pelaku pasar juga masih mengantisipasi perkembangan negosiasi dagang antara Amerika Serikat dan China. Trump menyatakan negosiasi hanya akan didelegasikan dan menginginkan negosiasi diperpanjang.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Faisal Basri: Rupiah Masih akan Bergejolak di Tahun Politik

Rupiah Tetap Berada di Zona Hijau
Teller tengah menghitung mata uang rupiah dan dolar di Bank Mandiri, Jakarta, Kamis (10/1). Hingga hari ini, US$ 1 dibanderol Rp 14.020. Rupiah menguat 0,71% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, ekonom Faisal Basri mengatakan bahwa kestabilan nilai tukar rupiah masih akan menghadapi tantangan di tahun politik. Bahkan rupiah dinilai masih mengalami pelemahan di 2019 ini.

Faisal mengatakan, meski di awal tahun waktu rupiah sempat menguat ke level 13.000 per dolar AS, tetapi saat ini rupiah kembali ke 14.000 per dolar AS.

"Rupiah tidak menguat secara signifikan, masih akan naik turun. Secara psikologis dan historis rupiah masih akan melemah," ujar dia dalam Market Outlook 2019 Mandiri Manajemen Investasi di Jakarta, pada Rabu 13 Februari 2019. 

Tekanan terhadap rupiah masih bersumber dari defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah untuk menurunkan CAD agar rupiah bisa menguat dan stabil di 2019.

"Karena masih CAD, kalau current account ini defisit ya rupiah melemah. Karena CAD ini terdiri dari ekspor impor barang dan jasa. Nah kalau utang tidak setiap bulan. Jadi (penguatan) rupiah yang mengandalkan utang tidak akan sustainable. Tapi kalau mengandalkan CAD bisa sustain," kata dia.

Selain itu, meski ekspor dan impor merupakan kegiatan yang wajar dilakukan oleh sebuah negara, namun Indonesia harus bisa menekan impor khususnya untuk barang-barang yang sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri dan menggenjot ekspor nonmigas.

"Ekspor-impor sebetulnya suatu hal yang lumrah dilakukan oleh suatu negara. Kalau kita tidak bisa bikin suatu produk, ya terpaksa impor. Tapi kita juga harus jual produk kita ke pasar negara lain. Ini supaya seimbang," tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya