Kim Jong Un Tagih Duit Rp 28,3 Miliar, Donald Trump Ogah Bayar

Donald Trump menolak membayar uang Rp 28,3 miliar kepada pemerintah Korut.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 29 Apr 2019, 20:01 WIB
Diterbitkan 29 Apr 2019, 20:01 WIB
Presiden AS Donald Trump menjabat tangan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dalam sesi makan malam, Rabu 27 Februari 2019, di Hanoi, Vietnam. (AP / Evan Vucci)
Presiden AS Donald Trump menjabat tangan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dalam sesi makan malam, Rabu 27 Februari 2019, di Hanoi, Vietnam. (AP / Evan Vucci)

Liputan6.com, Washington D.C. - Pemerintah Amerika Serikat (AS) ogah membayar tagihan dari Korea Utara (Korut) sebesar USD 2 juta atau Rp 28,3 miliar (USD 1 = Rp 14.182). Bayaran itu menyangkut pelepasan Otto Warmbier, warga AS yang menjadi tawanan Korut.

Dilaporkan New York Post, penasihat keamanan nasional AS John Bolton membantah ada pembayaran. Namun, ia mengaku ada pejabat AS yang pernah menandatangani dokumen pembayaran.

"Tentu tak ada bayaran. Dan saya pikir itu adalah poin kuncinya. Presiden telah berhasil membebaskan 20 lebih tawanan di seluruh dunia dan tidak membayar apa-apa," ujarnya.

Pejabat yang dimaksud adalah Joseph Yun. Ia sempat menjadi utusan AS di tahun 2017 untuk memulangkan Otto dari Korut.

Tagihan USD 2 juta itu adalah ongkos perawatan Otto Warmbier, seorang mahasiswa yang jatuh koma setelah divonis penjara 15 tahun serta kerja paksa oleh pengadilan Korut pada tahun 2016 lalu.

Presiden Trump juga membantah adanya pembayaran. "Kami tidak membayar uang demi mendapatkan Otto kami yang hebat," ujarnya.

Warmbier ditangkap aparat karena mencoba mengambil poster propaganda dari kamar hotelnya. Pada tahun 2017 ia berhasil dilepas oleh Korut dalam keadaan koma, namun meninggal enam hari setelah tiba di AS.

Kabar Penagihan

Penyebab Koma Mahasiswa AS yang Ditahan Korut Masih Jadi Misteri
Otto Warmbier di pengadilan Korea Utara (KCNA / AFP)

Warmbier dipenjara di Korea Utara pada Desember 2015 selama pelaksanaan sebuah tur, dan meninggal saat kembali ke AS dalam keadaan koma setelah 17 bulan ditahan.

Korea Utara menuntut agar tagihan rumah sakit dibayarkan sebelum Warmbier diizinkan pulang, BBC melaporkan, seperti dikutip pada Jumat, 26 April 2019.

Gedung Putih awalnya menolak mengomentari laporan itu. "Kami tidak mengomentari negosiasi penyanderaan, itulah sebabnya negosiasi begitu sukses selama pemerintahan ini," sekretaris pers Gedung Putih Sarah Sanders mengatakan dalam sebuah pernyataan kepada CBS pada hari Kamis.

Perwakilan utama AS yang dikirim untuk mengambil Warmbier menandatangani sebuah janji untuk membayar tagihan medis atas perintah Presiden AS Donald Trump, menurut laporan Washington Post, mengutip dua orang yang mengetahui situasi tersebut.

Tagihan untuk perawatan Otto Warmbier kemudian dilaporkan dikirim ke Kementerian Keuangan AS.

Seorang mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS mengatakan kepada CBS News bahwa AS tidak pernah membayar atau bermaksud membayar USD 2 juta, meskipun Joseph Yun, diplomat AS untuk urusan Korea Utara pada saat itu, memang menerima tagihan tersebut.

Mantan pejabat itu mencatat bahwa penerimaan tagihan itu terjadi pada masa jabatan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, yang tertarik untuk membuka dialog dengan Korea Utara. Tillerson kini sudah tak lagi menjabat sebagai menlu.

Sumber yang tidak disebutkan namanya mengatakan bahwa pemahaman Tillerson tentang kondisi kritis Otto Warmbier, atau kurangnya pengalaman politiknya mungkin berkontribusi pada keputusan tersebut.

Penyebab Koma yang Misterius

Otto Warmbier
Otto Warmbier, mahasiswa Amerika yang menghabiskan 17 bulan di tahanan Korea Utara (AP Photo/Jon Chol Jin)

Pada saat Otto kembali ke AS setelah 17 bulan ditahan, penduduk asli negara bagian Ohio itu koma dan menderita kerusakan otak.

Korea Utara mengatakan dia koma setelah tertular botulisme dan minum pil tidur.

Dokter AS tidak menemukan bukti botulisme dan mengatakan bahwa Otto Warmbier telah menderita "cedera neurologis yang parah", mungkin disebabkan oleh masalah jantung-paru (cardiopulmonary).

Meskipun Korea Utara membantah telah menyiksa siswa yang berusia 22 tahun itu, orang tuanya bersikeras bahwa kematiannya pada bulan Juli 2017 adalah konsekuensi dari penyiksaan.

Dikutip dari BBC, Otto sama sekali tak berkata apa-apa sekembalinya ia pulang ke kampung halaman di Ohio.

"Kondisi neurologisnya bisa digambarkan sebagai 'keadaan terjaga yang tidak responsif'," kata Dr Daniel Kanter.

Menurut pemindaian yang diambil setelah ia tiba di Cincinnati Medical Center, pun tak memperlihatkan ada tanda-tanda ada kekerasan fisik selama ia ditahan.

Tim dokter percaya Otto mengalami gagal pernafasan, sehingga kondisinya seperti itu. Biasanya terjadi akibat kurangnya oksigen dan darah ke otak.

Pada hari Kamis, 15 Juni 2017, ayah dari Otto, Fred Warmbier, mengungkapkan keraguan keterangan Korut tentang penyebab koma anaknya.

"Bahkan jika Anda yakin bahwa botulisme dan pil tidur yang menyebabkan koma--kami tidak--tidak ada alasan bagi sebuah negara beradab untuk merahasiakan kondisinya dan telah menolaknya untuk perawatan medis terbaik," kata Fred.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya