Investor Asing Tahan Tanam Modal di Indonesia Akibat Aksi 22 Mei

Tren investasi langsung luar negeri atau Foreign Direct Investment (FDI) masih akan menurun tahun ini setelah di Kuartal I 2019 hampir minus 1 persen.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 22 Mei 2019, 17:00 WIB
Diterbitkan 22 Mei 2019, 17:00 WIB
FOTO: Pengunjuk Rasa Diamankan di Kawasan Tanah Abang
Sejumlah kepolisian berlindung saat bentrok dengan massa aksi 22 Mei sebelum terjadi pembakaran bis milik Brimob di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (22/5/2019). (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menyatakan bahwa aksi massa 22 Mei membuat investor asing menahan rencana untuk menanam modal di Indonesia.

"Indikator jangka pendeknya terlihat dari kurs rupiah yang mengalami pelemahan dan IHSG yang terkoreksi. Investor khususnya asing masih lakukan posisi hold atau menahan realisasi investasi," jelas dia kepada Liputan6.com, Rabu (22/5/2019).

Selain itu, ia memperkirakan, tren investasi langsung luar negeri atau Foreign Direct Investment (FDI) masih akan menurun tahun ini setelah di Kuartal I 2019 hampir minus 1 persen.

Imbasnya, Bhima melanjutkan, rendahnya investasi tersebut bakal membuat pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan di bawah level 5 persen.

"Ini kondisi yang harus diwaspadai. Padahal investasi dan ekspor adalah motor penggerak utama yang diharapkan selain konsumsi rumah tangga," imbuh dia.

Di lain sisi, ia turut mencermati janji Jokowi yang belum terealisasi, yakni rencana peningkatan pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen pada 2014. Sebagai catatan, pertumbuhan ekonomi negara dalam periode 5 tahun terakhir masih bertahan di angka 5 persen.

Bhima menyatakan, ketidakpastian itu membuat Jokowi effect mulai pudar dan investor melihat secara lebih realistis. Dia pun memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi yang realistis saat ini masih berada di angka 5 persen.

"Di tengah perang dagang dan penurunan kinerja ekspor maupun investasi, sulit rasanya mengejar di atas 5," tandas Bhima.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

RI Butuh Waktu Capai Pertumbuhan Ekonomi 7 Persen

Massa Aksi 22 Mei Kibarkan Bendera Merah Putih Raksasa
Kerumunan peserta aksi massa Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat saat melakukan unjuk rasa di perempatan dekat Gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5/2019). Dalam aksinya, mereka meminta Bawaslu memeriksa kembali hasil Pemilu 2019. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Pasangan Calon (Paslon) nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin berhasil keluar menjadi pemenang Pilpres 2019 berdasarkan hasil perhitungan rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 21 Mei, kemarin.

Kemenangan Jokowi sebagai petahana lantas mengingatkan beberapa pelaku pasar akan janjinya pada 2014 lalu, yang mau meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara hingga ke level 7 persen. Lalu, mampukah Jokowi mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hingga kini masih tertahan di angka 5 persen?

Kepala Riset dan Edukasi PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan, menaikan pertumbuhan ekonomi dari 5 persen ke 7 persen merupakan pekerjaan rumah yang berat. 

"5 persen ke 7 persen itu butuh waktu dan budget besar. Itu yang harus diusahakan dikoreksi," ungkap dia kepada Liputan6.com, Rabu (22/5/2019).

"Yang jadi concern itu CAD (Current Account Deficit) dan trade balance yang defisit. Itu yang harus diusahakan dikoreksi," dia menambahkan.

Berkaca pada geliat ekonomi dalam negeri saat ini, ia menilai, target pertumbuhan ekonomi 7 persen merupakan sesuatu yang sulit untuk digapai "Ke 7 persen, saya rasa tidak bisa dengan yang berjalan sekarang. Harus ada perubahan," imbuh dia.

Dia pun turut menyoroti aksi penolakan kubu Paslon 02 terhadap hasil rekapitulasi KPU. Menurutnya, demonstrasi besar-besaran tersebut bukan faktor utama yang bisa mempengaruhi pergerakan pasar.

"Demo sebenarnya tidak bermasalah. Yang akan jadi masalah itu rusuh nya. Jadi pasar akan menunggu perkembangan demo ini," pungkas dia.

JK Pesan Kabinet Jokowi-Ma'ruf Harus Perkuat Ekonomi

Didampingi Ketum Parpol, Jokowi Jelaskan Hasil 12 Lembaga Survei
Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin didampingi sejumlah pimpinan partai politik pendukung memberikan keterangan pers usai menggelar pertemuan tertutup di Plataran Menteng, Jakarta, Kamis (18/4). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK meminta kabinet yang akan dipimpin Joko Widodo-Ma'ruf Amin lebih fokus dalam persoalan ekonomi. Ekonomi harus terus ditingkatkan karena berhubungan dengam kemakmuran serta kesejahteraan masyarakat.

"Ekonomi, itu masalah pokok menjadi bagian dari harapan masyarakat. Karena ekonomi berhubungan dengan kemakmuran, kesejahteraan, dalam kondisi perang dagang dengn china-amerika, eropa tentu banyak tantangan-tanyangannya dan itu harus dilalui," kata JK di Kantornya, Jalan Merdeka Utara, Selasa (21/5/2019).

Dia menjelaskan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf nanti harus menekankan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sebab saat ini Indonesia sedang mengalami kondisi ekonomi yang lesu.

"Penekanannya prinsip dasar ekonomi tumbuh, investasi dan ekspor seperti itu dan kemudian inflasi yang rendah dah ekspor naik. Ini pekerjaan berat, bukan mudah. Tapi semua negara mengalaminya," ungkap JK.

KPU telah menyelesaikan rekapitulasi suara di 34 provinsi. Hasilnya pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin menjadi pemenang Pilpres 2019.

Jumlah suara sah tercatat 154.257.601. Sementara tidak sah 3.754.905.

"Pasangan nomor urut satu Joko Widodo dan Ma'ruf Amin 85.607.362 atau 55,50 persen dari total suara sah nasional. Pasangan nomor urut dua, 68.650.239 atau 44,50 persen dari total suara sah nasional," ujar Komisioner KPU, Evi Novita Ginting, Jakarta, Selasa (21/5/2019) dini hari.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya