Liputan6.com, Jakarta Iklan-iklan yang muncul di situs berbahasa kasar atau menampilkan berita kontroversial ternyata mendapat perhatian tinggi dari konsumen. Menurut laporan Media Quality Report 2019, tercatat iklan-iklan di jenis situs tersebut mendapat perhatian hingga 85 persen di desktop dan 83 persen di perangkat seluler.
Laporan itu dirilis Integral Ad Service (IAS) yang melakukan kampanye awareness seputar masalah iklan digital. Lantas, apakah pemerintah perlu turun tangan jika ada situs yang sengaja membuat kontroversial untuk memancing iklan?
Baca Juga
Menurut Managing Director IAS Asia Tenggara, Laura Quigley, masalah ini harus ditangani oleh brand atau pengiklan sendiri untuk memastikan iklan mereka tak tampak di situs berita kontroversial.
Advertisement
"Pengiklan perlu angkat suara. Mereka dan agensi perlu angkat suara untuk mengatakan tidak mau membeli iklan di situs tersebut jika brand saya malah jadi kena risiko. Sebab perusahaan sudah mengeluarkan banyak uang untuk iklan digital, jadi mengapa harus menaruh risiko dengan menaruh iklan di situs-situs tersebut," jelasnya kepada Liputan6.com di Jakarta Kamis (8/8/2019).
Berdasarkan pengalaman Laura di negara-negara lain, ia belum pernah melihat pemerintah turun tangan, sebab butuh waktu lama untuk membuat produk legislatif.
Alhasil, lebih efektif jika pihak brand yang mencegah produk mereka muncul di situs-situs tersebut sebagai teguran demi mendorong situs untuk mengubah konten menjadi lebih baik.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Justru Merusak Brand
Dia menambahkan, iklan brand yang muncul di situs-situs kontroversial memang bisa memancing perhatian, akan tetapi itu turut menghadirkan risiko yang bisa merusak reputasi brand.
Di luar negeri pun ada contoh konsumen protes karena tak terima sebuah produk muncul di situs atau video dengan konten kontroversial.
"Pada akhirnya yang terdampak adalah pengiklan, karena konsumen ogah membeli produk karena mereka tersinggung. Jadi yang paling merasa sakit adalah pengiklan," jelas Laura.
Advertisement
85 Persen Iklan Digital Justru Laku di Situs Berita Kontroversial
Iklan digital di Indonesia malah laku dan mendapatkan perhatian di situs-situs negatif. Hampir 85,3 persen iklan digital mendapatkan impression lewat situs yang menampilkan bahasa kasar dan berita kontroversial.
Impression iklan dari situs-situs berita kontroversial itu lebih besar ketimbang yang didapat situs kategori dewasa, alkohol, bahkan narkoba.
Menurut Media Quality Report 2018, iklan yang dipasarkan dengan metode programmatic (situs dipilih software) mendapat impression sebesar 48 persen dari situs negatif tersebut.
Sementara, iklan yang dipasarkan dengan metode publisher direct (brand membeli iklan secara langsung) mendapat impression sebesar 85,3 persen dari jenis situs yang sama.
Angka di atas adalah untuk desktop. Untuk iklan digital di smartphone, angkanya mencapai 63,7 persen untuk iklan programmatic dan 83,7 persen untuk iklan pubsliher direct.
Hal tersebut seharusnya membuat perusahaan pengiklan khawatir, sebab munculnya iklan di situs-situs kebencian dan berita kontroversial justru merugikan brand dari segi citra dan reputasi. Ini disebut bahaya di kategori brand safety.
Pihak publisher iklan pun sebetulnya juga dirugikan oleh situs-situs tersebut karena reputasi mereka sebagai publisher jadi terancam. Laura Quigley, Managing Director Integral Ad Science (IAS) dari Asia Tenggara, menyebut pihak publisher tak bisa disalahkan, tetapi tetap harus proaktif.
"Para publisher tidak membeli iklan penipuan, mereka tidak terlibat dalam proses itu. Mencari publisher terpercaya adalah ide bagus. Para pubsliher juga menjadi sasaran maka mereka harus melakukan pendekatan progresif juga," ujar Laura pada Rabu (8/8/2019) di Jakarta.
Laura berkata Indonesia masih dalam tahap edukasi mengenai potensi kerugian iklan digital. Ia pun berharap awareness soal bahaya di iklan digital bisa mencapai perusahaan-perusahaan lokal agar tidak dirugikan.