Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menargetkan realisasi Energi Baru Terbarukan (EBT) bisa mencapai 23 persen di 2025. Namun untuk mencapai target tersebut pemerintah memiliki tantangan besar.
EBT dinilai masih mahal dan memiliki biaya operasional yang cukup tinggi jauh melampaui energi konvensional dan energi fosil lainnya, seperti minyak dan batu bara.
Sulitnya mencapai target 23 persen pada 2025 diakui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Meskipun kemajuan EBT saat ini sudah mengalami perkembangan yang cukup baik, akan tetapi target 23 persen EBT di tahun 2025 rasanya sulit tercapai.
Advertisement
Baca Juga
"Untuk listrik saat ini baru mencapai 13 persen, target di 2025 sebesar 23 persen. Bisa tidak dikejar 10 persen? Saya bilang tidak mudah, tapi kami akan coba paling kurang 20 persen," kata Jonan usai menghadiri Acara International Conference of Resources and Environmental Economics (ICREE) di Bogor, Kamis (22/8/2019).
Menurutnya, ada beberapa aspek yang menjadi hambatan mengapa target bauran energi dengan EBT itu sulit terealisasi. Diantaranya, tingginya nilai investasi sehingga memberikan dampak serius pada kenaikan tarif listrik. "Makanya itu kita hindari," kata mantan Menteri Perhubungan itu.
Untuk mendorong target yang sudah ditetapkan pemerintah, Kementerian ESDM kini tengah mendorong pemanfaatan energi terbarukan terutama pemakaian solar rooftop dan angin sesuai dengan kebutuhan sistem tenaga listrik setempat.
"Termasuk mendorong setiap instansi-instsnsi pendidikan untuk menggunakan solar rooftop pada tiap sarana gedungnya," terang Jonan.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
BBM
Tak hanya listrik, pemerintah juga menargetkan realisasi bauran energi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 23 persen di tahun 2025. Namun target EBT untuk BBM, Jonan mengaku optimis bisa mencapai diatas 23 persen.
"Untuk BBM mestinya bisa. Kalau target 23 sampai 30 persen sampai tahun 2025 saya yakin bisa," terang Jonan.
Sebab, pada 2020 mendatang pemerintah akan menambah porsi biodiesel menjadi sebanyak 30 persen (B30) dari sebelumnya sebesar 20 persen untuk campuran BBM jenis solar.
Penambahan porsi 30 persen, kata Jonan, selain bisa menekan impor BBM yang selama ini menjadi penyumbang defisit neraca perdagangan juga mengurangi emisi gas karbon.Â
Advertisement