Dilema Pengaturan Ojek Online

Penyesuaian tarif ojek online ini berupa kenaikan tarif, maka akan ada perubahan kebiasaan di pengguna.

oleh Tira Santia diperbarui 21 Jan 2020, 13:25 WIB
Diterbitkan 21 Jan 2020, 13:25 WIB
20161003-Demo Ojek Online, Gojek-Jakarta
ojek online

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno menilai wacana penyesuaian tarif ojek online menimbulkan perasaan dilema di kalangan masyarakat dan tentunya bagi pengemudi ojek online.

"Ya kalau dilihat dari perhitungan main sih tergantung dari penumpangnya mau atau tidak. Karena itu kan sensitif ya pengguna ojek itu banyak kalangan menengah ke bawah, mestinya banyak yang sensitif terhadap tarif," kata Djoko kepada Liputan6.com, Jakarta, Selasa (21/1/2020).

Djoko melihat bila ada penyesuaian tarif ojek online, maka akan ada perubahan kebiasaan di pengguna. Sebagian besar yang merasa tarif ojek online terlalu mahal akan berpindah menggunakan transportasi umum.

"Jadi kalau dia merasa lebih murah yang mana akan beralih. Kan kalau Jakarta angkutan umumnya semakin bagus, sehingga muncul pilihan bagi masyarakat, dan itu menjadi dilematis buat ojek. Artinya ojek itu bukan angkutan umum," jelasnya.

Sementara itu, apabila tarif ojek online lebih murah, akan berdampak pada penurunan kesejahteraan pengemudi.

Ia menegaskan lagi, kalau ojek online itu memang bukan transportasi umum, maka perlu dilihat bagaimana aplikatornya.

"Aplikatornya bagaimana, pengaturan angkutan umum saja susah apalagi roda dua lebih susah," ungkapnya.

Sebelumnya, ia pun pernah bertanya kepada pengemudi ojek online, apabila ojek online diputuskan sebagai transportasi umum, akan ada jaminan atau tidak bagi si pengemudi. Namun, pengemudi ojek online tidak mampu menjawab pertanyaannya.

Menurutnya yang disoroti jangan hanya tarif saja, tapi Kementerian Komunikasi dan Informatika (kominfo) juga harus mengawasi aplikatornya, karena itu penting. "Oh iya harus diaudit dong, karena tidak diawasi nanti praktik itu tetap ada," katanya.

Praktik yang ia maksud adalah penyimpangan-penyimpangan, yang dilakukan melalui aplikasi atau dampak negatif yang ditimbulkan, seperti pesanan bohong, yang merugikan pengemudi ojek online itu sendiri.

Sementara itu, para pengemudi ojek online tidak semuanya berawal dari pengangguran, melainkan alih profesi.

"Karena 80 persen driver ojek itu bukan profesinya sebenarnya. Orang hanya terhipnotis saja yang diiming-imingi gaji Rp 4 juta atau Rp 5 juta tahun 2016, tapi nyatanya driver kerjanya capek bisa hingga 12 jam kerja," katanya.

 

Perlu Undang-Undang yang Bagus

Demo Ojek online
Pengemudi ojek online (ojol) menuju Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk berunjuk rasa di Jakarta, Rabu (15/1/2020). Mereka mengajukan dua tuntutan yaitu payung hukum dan mengubah skema tarif dan berharap DPR serta pemerintah membuat Undang-undang (UU) terkait ojol. (merdeka.com/Imam Buhori)

Menurut dia, diperlukan undang-undang yang bagus dalam mengatur transportasi, seperti ojek online. Meskipun tarif ojek online akan disesuaikan dengan daerah, tetap saja di daerah tidak ada dasar hukumnya.

"Tapi di daerah tidak ada dasar hukumnya. Sebenarnya Kementerian Perhubungan juga mengatur tarif itu, tapi enggak punya dasar hukum. Padahal, di undang-undangnya tidak bicara tarif, bicaranya keselamatan, cuman di situ biaya operasional,"

Namun, jika ojek online diubah menjadi angkutan umum, maka akan bermasalah di bagian undang-undang, karena angkutan umum itu dapat subsidi dari pemerintah.

"Emang mau pemerintah mensubsidi 2 juta pengojek se-indonesia, susah kan. Nah, sekarang pemerintah sedang memperbaiki angkutan umum, itu lebih murah daripada subsidi ojek," ungkapnya.

Masalahnya sekarang adalah dilema dua sisi mengenai dasar hukumnya yang belum jelas.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya