Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Penasihat Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Sharif Cicip Sutardjo menyatakan upaya pemerintah dalam menanggulangi krisis yang disebabkan virus corona (COVID-19) terlalu lamban dan menimbulkan kekhawatiran bukan saja di kalangan masyarakat tapi bahkan di kalangan dunia internasional.
Menurut dia, seharusnya penanganan wabah COVID-19 dan dampaknya bisa jauh lebih maju dan lebih cepat dari kenyataan saat ini. Dengan mengikuti pemberitaan penanganan COVID-19 di negara-negara lain saja, menurut Cicip, Pemerintah bisa tahu banyak apalagi kalau langsung bertukar informasi dan bekerja sama dengan negara lain.
Cicip mencontohkan China dan Korea Selatan sudah berhasil menangani wabah COVID-19, dan saat ini sudah di tahap mengantisipasi siklus kedua karena beberapa pasien yang sembuh malah kembali terdeteksi positif.
Advertisement
Sedangkan Indonesia menghadapi siklus pertama pun terkesan lamban kemajuannya. Kebijakan Pemerintah masih terfokus seputar pembatasan sosial, kelangkaan alat pelindung diri (APD), dan debat mengenai mudik dan tidak mudik, dan sebagainya.
Padahal negara lain sudah mulai mengantisipasi siklus kedua, menyiapkan rencana normalisasi, bahkan fokus kepada pengembangan vaksin. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ini mengingatkan bahwa setiap hari puluhan atau ratusan rakyat yang menjadi korban jiwa.
"Dan setiap satu nyawa yang hilang mewakili seluruh rakyat Indonesia, karena yang berikutnya bisa siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Kondisi ini sudah sebanding dengan kita menghadapi ancaman agresi militer yang mengancam ketahanan nasional. Karena yang terancam adalah kamampuan rakyat untuk bertahan dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan COVID-19 ini lebih berbahaya karena tidak kelihatan bentuknya," tegas Cicip dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (13/4/2020).
Cicip mengingatkan agar Pemerintah dan Satuan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona tidak keliru dalam membedakan antara konsep besar yang strategis dengan langkah-langkah taktis.
Kementerian BUMN bisa menyamakan pemahaman. Setelah itu barulah menyamakan visi dan tujuan dengan DPR yang memiliki otoritas politik anggaran.
Satu tujuan yaitu Indonesia yang berhasil bebas dari COVID-19 dengan tetap menjaga kemandirian dan stabilitas ekonomi. Jangan sampai lagi kita kembali ke tahun 1998 dimana kita terpaksa minta bantuan asing yaktu IMF untuk mengatasi krisis ekonomi di dalam negeri.
"Kami mengapresiasi ketegasan Pemerintah untuk siap memperbesar kapasitas anggaran negara untuk mengantisipasi dampak krisis ekonomi dari COVID-19 sampai sebanyak yang diperlukan.Walaupun rasio defisit anggaran terhadap PDB harus melebihi batas acuan 3 persen seperti yang diwajibkan UU. Apalagi Pemerintah tetap prudent menyatakan bahwa kondisi tersebut hanya sementara di mana dalam waktu tiga tahun sudah harus kembali ke level 3 persen," kata Cicip.
Â
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Anggaran Rp 405 Triliun
Anggaran Rp 405 triliun dalam bentuk dana tanggap darurat yang sudah diumumkan Pemerintah adalah awalan yang baik. Selanjutnya Cicip menyarankan agar Pemerintah mengkomunikasikan hal ini dengan jelas kepada setiap stakeholders.
"Bahwa Rp405 triliun adalah langkah awal yang baik dan prudent, dan cukup untuk tahap pertama. Dengan demikian pesan yang disampaikan ke masyarakat dan ke pasar internasional jelas dan tegas. Yaitu bahwa Indonesia memiliki kapasitas finansial yang lebih dari cukup untuk keluar dari wabah COVID-19 dengan dampak serta solusi perekonomian yang terukur dan terkendali dengan baik. Karena kepercayaan dunia KHUSUSNYA pasar terhadap penanganan pemerintah atas situasi sekarang ini sangat penting untuk menjaga stabilitas makro," tambahnya.
Cicip memuji Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang telah mengumumkan langkah-langkah taktis di tataran mikro seperti kebijakan relaksasi kredit khususnya bagi penerima KUR sampai enam bulan, peningkatan bantuan pemerintah non tunai, dan kartu pra kerja.
Krisis yang disebabkan oleh COVID-19 berbeda dengan krisis-krisis ekonomi sebelumnya. Sebelumnya setiap krisis pasti berdampak kepada orang yang mampu dulu. Sedangkan sekarang masyarakat tidak mampu, pengusaha UMKM yang biasanya jadi benteng pertahanan ekonomi justru yang menjadi korban pertama.
Â
Advertisement
Krisis
Demikian juga krisis yang lainnya seperti bencana alam, terorisme, atau bahkan perang sekalipun. Semua krisis tersebut, menurut Cicip, ada polanya, ada parameternya, dan kelihatan bentuknya.
Sehingga solusinya lebih bisa diformulasikan dan dikendalikan. Masyarakat lebih mudah untuk diatur dan diarahkan oleh Pemerintah dalam krisis-krisis lain yang sebelumnya.
Karena ketika Pemerintah terpaksa meminta masyarakat mengurung diri di rumah, langsung saat itu juga krisis yang dihadapi masyarakat berlipat ganda menjadi krisis ekonomi dan sangat mudah bergeser menjadi krisis sosial. Baik di kalangan pengusaha maupun di kalangan masyarakat ekonomi bawah.
Bagi pengusaha karena tidak ada pemasukan, tidak kuat membayar gaji karyawan terpaksa melakukan PHK massal. Belum lagi beban THR mendekati hari raya. Akhirnya bisa terjadi bentrokan sosial antar kelompok masyarakat. Semua ini, menurut Cicip,butuh Pemerintah yang menyatukan dan memimpin seluruh elemen bangsa dalam satu konsep dan kerangka kerja yang berdasarkan satu pemahaman, dan yang terpenting satu tujuan bersama.
"Intinya, Pemerintah harus perlakukan krisis COVID-19 ini lebih sulit dibandingkan melawan ancaman perang," tegas Cicip.